“Apakah kau mendengar gemuruh ombak yang menghantam batu karang di tepian pantai?
“Dulu, suaranya bagai simfoni yang menyanyikan kebahagiaan seiring tumbuhnya cinta di antara kita.
“Tapi sekarang, dengarlah gemuruh itu—tak lagi bernada, seolah kehilangan makna, mengisahkan luka dan perpisahan yang tak terelakkan.”
---
Langit Parangtritis merona keemasan, melukis cakrawala dengan warna senja yang kian meredup. Di bawah cahaya jingga yang perlahan tenggelam, seorang gadis berdiri mematung. Rambut panjangnya tergerai, tersapu angin yang membawa aroma asin laut. Tatapannya kosong, terpaku pada gulungan ombak yang tak pernah berhenti.
Setiap sore, langkahnya selalu berlabuh ke tempat ini—seakan mencari sesuatu yang tak lagi ia miliki.
Kikan, nama gadis itu, masih terperangkap dalam kenangan yang enggan ia lepaskan. Luka hatinya belum sembuh, bahkan setahun berlalu.
Gio. Nama itu pernah mengisi relung hatinya. Lelaki yang berjanji setia, lalu pergi, meninggalkan jejak pengkhianatan yang mengoyak lebih dalam daripada sekadar perpisahan.
Tak jauh dari sana, seorang pemuda duduk di bangku kayu dekat warung kelapa muda. Ia baru sekali ini menjejakkan kaki di pantai Parangtritis, menikmati hembusan angin sore yang menenangkan.
Namanya Damar.
Namun ketenangannya terusik. Seorang gadis berdiri sendirian di tepi pantai, seolah hanyut dalam kesunyian. Ada sesuatu di wajah gadis itu—sedih, rapuh, tapi indah dalam luka—yang membuat Damar tak bisa berpaling.
“Mbo, siapa gadis itu?” tanyanya pelan pada wanita paruh baya yang melayaninya.