“Kalian baik-baik aja? Maaf, kita baru bisa datang. Ada mata kuliah yang gak bisa ditinggalin,” ucap Dona begitu sampai di ruang tunggu rumah sakit
Ica langsung menghampiri Kikan dan memeluknya erat. “Kamu gak papa, Kan?” tanyanya penuh cemas
Kikan mengangguk pelan, tapi wajahnya masih terlihat pucat. Sementara itu, Dita duduk di sampingnya dengan mata sembab, sesekali menyeka air mata yang belum juga berhenti mengalir
“Kenapa bisa sampai nabrak gitu?” tanya Dona penasaran, matanya bergantian menatap Kikan dan Dita.
“Dita nyetir sambil teleponan,” jawab Kikan lemah. “Aku udah bilang tunggu sampe kampus dulu, tapi dia tetep aja maksa.
Dita menunduk, menggigit bibirnya, merasa bersalah.
Dona menarik napas panjang, lalu menghela pelan. “Ya udah, yang penting kalian gak kenapa-kenapa. Ini musibah, gak ada yang mau, kan?” katanya, berusaha menenangkan.
“Tapi aku takut…” suara Dita bergetar. “Gimana kalau keluarganya marah? Kalau mereka nuntut aku gimana?” Air matanya kembali jatuh, membuat Dona langsung merangkulnya.
“Dita, dengerin.” Dona menatapnya lembut. “Kita hadapi ini sama-sama, oke? Jangan keburu panik. Fokus aja dulu ke kondisi ibunya.”
Ica mengangguk setuju. “Iya, Dit. Yang penting sekarang kita pastiin ibu itu baik-baik aja.”
Setelah berpikir sejenak, Dona menoleh ke Ica. “Ca, coba tanya ke suster gimana kondisi ibu itu sekarang. Sekalian tanya soal biaya, kalau bisa bayarin dulu, ya?”
“Siap,” jawab Ica, lalu beranjak ke meja resepsionis.