Senja Milik Arjuna

Chacha
Chapter #2

Kala Senja Menyapa

“Kalau saja bisa, ingin kutuliskan roman berangsur dalam narasi senja untuk teruna yang kutemui di tengah-tengah ibu kota, sebagai tanda bahwa kita pernah bersua."

- Aruna Senjani

***

Rupanya langit masih tampak kelabu tak berseri, tanpa guratan kemerahan khas sandyakala sore hari, hanya dihiasi gumpalan awan hitam sebab hujan baru saja berhenti. Tak urung, Jakarta masih terlena dengan kepadatannya. Tak sedikitpun jalanan lengang karenanya. Banyak jiwa yang masih berlalu lalang memadati ibu kota, pun juga dengan bisingnya suara kendaraan yang menusuk telinga.

Begitupun dengan Jani. Gadis itu sedang menyambangi toko buku yang kurang lebih berjarak 500 meter dari sekolahnya, setelah berjam-jam berkutat dengan tugas yang dikerjakan secara berkelompok bersama beberapa kawannya. Pakaiannya masih sama; putih abu-abu khas anak SMA, karena ia tidak sempat pulang untuk menggantinya. Setelah dirasa menemukan buku yang dicari, ia melantaskan diri membayarnya ke kasir dan keluar dari toko buku tersebut demi segera pulang dan mengistirahatkan badan.

Ditapakinya trotoar dengan langkah-langkah kecil menuju halte di depan sekolah. Dibanding menggunakan ojek online, ia lebih memilih alternatif lain untuk pulang supaya hemat biaya.

Lampu-lampu jalanan mulai menyala menyorot sekitarnya, pendarnya menyinari setiap langkah yang Jani tapaki seorang diri, dilengkapi dengan aroma hujan lalu beradu dengan tanah repih yang masih sangat kental menguar di udara. Sesekali kakinya mencipta percikan karena tidak sengaja memijak genangan air. Pun juga dengan hawanya yang masih dingin, membuat Jani sedikit menggigil dan tak urung harus mengusap tubuhnya sesekali.

Namun tidak dapat disangkal, bahwa Jakarta begitu anggun ketika senja tiba. Layaknya melihat sisi lain kehidupan dari padatnya ibu kota. Selain lalu lalang angkutan kota yang layaknya parade senja, tempat ini tidak lepas dari gedung-gedung pencakar langit yang hiperbolanya hampir menembus sang mega. Seperti menilik sebuah film dengan diri kita sendiri sebagai pemerannya hingga dapat membuat siapa saja terpesona.

“Pulangnya kok sendirian aja, Cantik? Mau Abang anterin sampai rumah nggak?”

Tiba-tiba, di hadapan Jani sudah ada sekomplotan pemuda yang mencegah langkahnya. Jika dikira, jumlahnya sekitar empat atau lima. Jelas saja langkah Jani terhenti di sana. Raganya yang semula menggigil kedinginan, kini hanya bisa diam mematung karena ketakutan. Benar, Jani dibuatnya merinding hingga yang bisa dia lakukan hanya bergeming.

“Mampir dulu sini, temenin Abang,” sambung lelaki lain yang mengenakan kaos merah.

Ingin rasanya Jani tampar satu-persatu mulut-mulut mereka detik itu juga, namun apa daya Jani tidak bisa, lebih tepatnya karena terlalu takut untuk melakukannya. Hingga sebuah tangan yang entah milik siapa memberikan tepukan di pundaknya, seperti menjadi kausa supaya Jani tidak hanya bungkam dan harus angkat wicara. Alih-aling segera melakukannya, justru ia tolehkan kepalanya ke arah yang menepuk, didapatinya sosok teruna dengan raut wajah datar. Begitu asing hingga Jani pikir ia juga kawanan si pembuat onar. Namun ternyata, itu semua tak benar.

“Yuk balik! Keburu hujan lagi, nanti basah semua,” ucap sang teruna lantang. “Maaf ya, Bang ... ini temen saya udah dicariin bapaknya, soalnya udah sore. Takut nanti beliau marah-marah, soalnya bapaknya polisi galak.”

Jani makin bisu, tidak tahu maksud si teruna detik itu. Bahkan kernyitan di dahinya muncul begitu saja hingga tampak sangat nyata. Mungkin jika digambarkan, sekarang sudah ada tanya besar tepat di atas kepalanya, karena sedikitpun Jani tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya. Sampai detik berikutnya, tanpa aba-aba, tangannya sudah diraih dan dibawa pergi begitu saja. Anehnya, kaki kecil Jani tetap saja melangkah mengikuti, hingga keduanya berhenti tepat di halte depan sekolah.

“Jangan suka jalan sendirian, nggak semua orang yang kamu temuin itu baik, apalagi ini ibu kota. Bahaya tau nggak? Terus kalau ada kejadian kayak tadi usahain jangan diem, teriak aja, ya?” tutur si pemuda masih dengan wajah datar, namun dengan nada bicara yang Jani duga tampak khawatir.

Jani mengangguk, masih merasa sedikit takut dan kalut. Perlahan-lahan, diaturnya napas dan degup jantungnya, berniat mengembalikannya seperti sedia kala.

“Um ... makasih banyak, Kak. Besok-besok aku usahain buat ikut semua nasihatnya,” jawab Jani akhirnya.

Pemuda itu mengangguk takzim tanda mengerti, hingga kemudian hanya ada hening yang menyelimuti. Tak elak, pikiran Jani berkecamuk, masih bertanya-tanya apa yang dicelotehkan si teruna tadi karena ayahnya jelas saja bukan polisi atau sejenisnya.

“Ngomong-ngomong, Kakak kenal bapak aku? Tadi Kakak bilang bapak aku polisi ... tapi Kakak salah, bapak aku bukan polisi,” ucap Jani lugu, saking lugunya hingga membuat si teruna tertawa.

Lucu sekali, sampai kedua matanya menyipit nyaris seperti terpejam, bibirnya merekah mengeluarkan suara tawa yang menggelegar namun terdengar hangat. Sedangkan nona yang ada di hadapannya memasang tampang bingung dan jelas saja terlihat semakin jenaka.

Setelah tawanya reda, baru kemudian si teruna berbicara, “Yang tadi, ya? Itu sengaja buat nakut-nakutin mereka aja, soalnya biasanya anak-anak begitu digertak sedikit pakai embel-embel ‘bapak gue polisi’ juga takut.” Baru setelah itu Jani mengangguk paham.

“Kakak keren, kayak panglima, soalnya keliatan nggak takut apa-apa.” Lagi-lagi, Jani berceloteh lugu.

“Gue bukannya nggak takut apa-apa, gue masih takut Tuhan, kok. Terus gue juga biasa aja, ah, nggak kayak panglima.”

Si teruna berjalan ke kursi halte, mengambil tempat di sana dengan Jani yang mengekor di belakangnya. Ditilik beberapa kali, angkot juga belum ada yang melipir, sampai Jani berpikir tak apa untuk kembali mampir.

“Aku Senjani, tapi Kakak bisa panggil aku Jani.” Yang punya nama mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan.

Lihat selengkapnya