Senja Pertama

Intan Resvilani
Chapter #1

Tanpa Belas Kasih

Bunyi kardiograf terdengar nyaring. Pun garis lurus di layar pencatat denyut jantung itu terlihat sangat memilukan. Semuanya di luar kendali dokter dan suster.

Tangisan dan jeritan terdengar dari luar ruang ICU.

Begitu dokter keluar, seseorang langsung menerobos masuk. Dia memeluk seseorang yang terbaring di brankar yang sekarang tanpa segala alat penopang hidup itu.

"Dar, Dara! Bangun Dar!"

Percuma walau Sendanu mencoba membuat Dara bangun, gadis itu sudah tiada.

"Katanya lo mau pakai gaun itu di hari tunangan kita. Bangun Dar." Sekuat apa pun Sendanu memeluk, Dara sudah pergi jauh.

"Kenapa lo tetep keluar rumah Dar? Kalau lo mau dengerin kata orang tua lo, ini semua nggak akan terjadi." Rasanya lutut Sendanu melemas. Sendanu berlutut dan masih memegang tangan Dara yang mulai dingin.

"Gue janji Dar, siapa pun yang bikin lo kayak gini akan gue balas."

"Hidup dia nggak akan tenang. Gue janji Dar.”

*****

“Kak Nana yakin mau ambil jahitan sendirian?”

“Iya, kamu ke panti aja ya. Bilang sama Bunda kalau Kakak langsung pulang abis ambil jahitan.”

“Hati-hati ya Kak,”

“Iya Sandra.”

Anak kecil yang merupakan salah satu penghuni Panti Cahaya Kasih itu langsung berlari menerobos hujan bermodalkan payung berwarna kuning.

Awan gelap beberapa menit lalu adalah pertanda datangnya hujan yang saat ini membuat Nana terjebak di sebuah toko kelontong.

Hanya satu payung yang Nana bawa bersama anak kecil bernama Sandra tadi. Nana tak mungkin membiarkan Sandra basah, jadi ia mengalah dan menunggu hujan reda lalu mengambil jahitan di tempat langganan.

Panti baru saja mendapat donasi dari orang berhati lapang di luar sana. Dan bunda berniat membuatkan baju baru untuk anak-anak di panti.

Sebenarnya jika disebut anak-anak rasanya usia Nana sudah melampaui itu. Namun ia masih mendapat jatah dari bunda.

Dingin membuat Nana mendekap tubuhnya lebih erat. Ia hanya memakai baju dan celana dengan kardigan tipis. Tentu masih membuat tubuhnya kedinginan.

Bibir mungil Nana sedikit bergetar. Jari kakinya yang terkena cipratan air hujan juga bergetar.

“Nana!”

Nana menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara.

“Maaf ya aku tadi panggil kamu di seberang. Aku di depan kamu sekarang.”

“Ah iya, gak apa kok. Kamu Danang kan?”

Danang terkejut. “Kamu bisa tau aku dari mana?”

“Dari suara kamu. Gak tau kenapa aku lebih peka sama suara daripada cahaya.” Nana tertawa kecil seolah menertawakan dirinya sendiri.

“Mau pinjem jaket nggak? Aku lihat kamu kedinginan.”

“Nggak kok, aku nggak kedinginan.” Nana melepaskan tagannya yang semula mendekap tubuhnya. “Pakai kamu aja.”

“Gak apa ya aku maksa dikit.” Danang memakaikan jaket yang sempat Nana tolak. Danang yakin Nana sudah sangat kedinginan. Bibirnya mulai pucat.

“Ya udah deh kalau kamu maksa. Makasih banyak ya. Eh, tapi kok bisa kamu ke sini?”

“Tadi kebetulan lewat sini. Habis dari kampus soalnya, ngurusin acara organisasi.”

Nana mengangguk mengerti. Tak ada percakapan setelahnya. Nana dan Danang diam karena tak tau pembicaraan apa yang bisa mereka mulai.

“Nang, boleh tau hujannya udah berhenti atau belum?”

“Masih gerimis kecil Na. Kenapa emangnya?”

“Itu mau ambil jahitan panti.”

“Di mana tempatnya? Mau aku antar Na?”

“Eh nggak usah. Aku cuma tanya hujannya udah berhenti atau belum, gitu aja. Aku bisa ambil sendiri.” Senyuman Nana membuat dunia Danang berhenti seketika.

Lihat selengkapnya