Senja Pertama

Intan Resvilani
Chapter #4

Pelindung Nana

Gemercik air di kamar mandi Sendanu menandakan sang pemilik kamar sedang mandi di malam hari yang cukup dingin. Kebiasan Sendanu, mandi tengah malam. Ia bahkan tak memikirkan efek jangka panjangnya.

Setelah berkeliling cukup lama dengan sepeda motor dan menghabiskan beberapa minuman, Sendanu akhirnya pulang.

Dia cukup kebal untuk tak mendengarkan teguran orang tuanya. Bukan sekali dua kali, tapi setiap hari.

Sendanu sering diingatkan kalau ia adalah anak dari seorang dekan di fakultasnya, tetapi bagi Sendanu itu sama sekali tak bekerja. Apa pun yang Sendanu lakukan, itu atas kemauannya sendiri. Tanpa peduli siapa dan mengapa.

Sendanu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah kuyup. Menguar aroma shampoo arang yang dia gunakan. Rambut hitam sebahu yang Sendanu kuncir tiap kali ke kampus nampaknya bisa membuat perempuan iri. Sangat indah terawat. Entah kapan terakhir kali ia potong rambut sampai bisa sepanjang itu.

Seperti hari-hari biasanya, Sendanu tak pernah memakai atasan ketika tidur. Dia justru memilih memeluk foto yang bisa menghantarkannya ke mimpi bersama Dara.

Sudah lama meski memeluk foto itu, Sendanu tak kunjung memimpikan Dara. Padahal dia sangat menunggu saat itu. Sendanu sangat rindu Dara. Terakhir mereka bertemu dua tahun yang lalu.

Kotak besar yang Sendanu rencanakan menjadi kado Dara juga masih ada di atas lemari. Andaikan saat itu Dara mau mendengarkan dirinya untuk menunggu sebentar saja, mungkin Dara masih bersamanya sekarang ini.

Miris rasanya. Sendanu hanya bisa menatap kepergian Dara tanpa bisa mencegah apa pun.

Kotak itu seharusnya menjadi milik Dara di hari ulang tahunnya. Sendanu bahkan sudah merancang sedemikian rupa untuk merayakan ulang tahun Dara. Namun semua tak berjalan sesuai keinginannya.

 Sampai saat ini Sendanu masih menyalahkan sosok yang selalu ia rundung di kampus. Sendanu menyalahkan keadaan, kenapa tidak sosok itu saja yang pergi dan bukan Dara?

“Kalau aja Dar lo mau nunggu bentar. Kalau aja dia gak muncul saat lo lagi nerima telepon gue. Seharusnya dia yang ada di posisi lo. Kenapa lo milih menghindari dia Dar?”

Hanya monolog seperti itulah yang bisa Sendanu lakukan. Di kamar seorang diri.

“Lo inget Dar? Tinggal nunggu kita lulus sekolah dan gue akan tunangan sama lo. Indah banget Dar.”

Memang benar, hal itu sudah terencana lama sekali. Pertunangan Sendanu dengan Dara sudah di depan mata. Tinggal menunggu keduanya lulus SMA.

“Lo juga pernah bilang nggak akan ninggalin gue.”

“Nggak adil banget Dar. Dia masih hidup.”

Setiap malam Sendanu selalu menyesali kepergian Dara. Dia belum ikhlas.

Selalu berakhir dengan Sendanu yang tertidur dengan foto Dara di pelukannya. Berharap malam ini akan dipertemukan di mimpi yang lebih indah dari kenyataan.

Menyalahkan keadaan pun tak ada artinya lagi. Takdir Sendanu memang bukan bersama Dara.

♥♥♥♥♥

Harus berjalan lebih cepat dari biasanya tentu membuat Nana kesusahan. Dia terlambat bangun karena badannya pegal-pegal. Tidak ada yang membangunkan karena seisi panti mengira Nana sedang libur kuliah. Padahal Nana ada kuliah pagi jam delapan.

Dia masih di dalam bus sedang perkuliahan tak menunggu selama itu. Nana terus merapal doa di dalam hati, semoga tidak telat.

Sepertinya Nana masih beruntung karena tepat setelah ia masuk kelas, dosen baru masuk.

Teman sekelas Nana selalu mengosongkan satu kursi di bagian depan untuknya. Hal itu berguna supaya Nana tak kesusahan mencari tempat duduk. Meski kelas selalu berganti dengan orang yang berbeda, mereka selalu melakukan hal itu.

“Sepertinya Naziwa juga terjebak macet seperti saya.”

Lihat selengkapnya