Di rumah duka.
Orang berdatangan, semua saudara berdatangan baik saudara Langit maupun Senja. Ditengah suasana duka hanya Senja yang terlihat tegar. Dia masih bisa menemui satu persatu peziarah yang datang. Tidak dengan ibu mertuanya yang masih menagis di samping mayat Langit.
“Mba, sebentar lagi mau dimakamin, yuk kesana.” Ucap Sandra
Pemakaman siang hari itu berlasung dengan hikmat. Beberapa keluarga terlihat menangis, karena Langit dikenal orang yang ramah, periang, meski dia banyak tingkahnya. Hanya senja disana yang sudah tidak bisa menenteskan ari matanya. Sepertinya air matanya sudah kering. Dia hanya melihat keseliling, melihat satu persatu wajah para pelayat. Tiba-tiba pandangannya gelap. Senja pingsan.
Begitu bangun Senja sudah di dalam kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Di sebelah Senja ada Sandra yang sedang duduk bersandar sambil menonton dari ponselnya.
“Dek.” Panggil Senja lemah.
“Uwes tangi mba? Mimik tah mba?”
Senja mengedip lemas, pertanda setuju. Sandra segera mengambil segelas air putih dan membantu Senja untuk minum karena tubuhnya masih lemas. Dia kelelahan fisik dan batin.
“Mba, lak pengen opo-opo ngomong, tak jupukno.”
Senja menatap Sandra dengan tatapan kosong, kemudian menangis. Akhirnya air mata bisa keluar lagi. Air mata ini semakin deras, namun cukup mengurangi rasa mengganjal dalam hati yang sejak kemarin masih terbendung. Sandra pun langsung memeluk erat kakaknya dan mengelus punggunya, berusaha menenangkan kakaknya.
Tok tok tok.
“Kak Sandra?” Ucap Lora lirih kemudian membuka pintu kamar.
Lora tidak sengaja mengintip Sandra dan Senja masih berpelukan dari celah pintu yang dibuka. Lora buru-buru menutup pintunya. Dia mencoba memberikan waktu untuk adik kakak itu melepas rasa sakit.
“Dek, aku gak punya siapa-siapa lagi dek. Bang... Bang Langit udah gak ada.”