Di kereta.
Oliv dan Langit naik kereta bersama kembali ke Kediri. Kembali menjalani aktifitas masing-masing. Mereka sekarang sudah tidak canggung lagi. Langit yang memulai percakapan dengan mengajak Oliv kembali bareng.
“Akhirya kembali juga ke riuhnya kota tahu.” Ucap Langit.
“Kota tahu?”
“Selama ini kuliah di Kediri gak tau kalau Kediri disebut kota tahu Liv?”
“Ohh hahaha. Kirain tadi mau buat lelucon. Ya tau lah masak gak tau.”
“Hmmm.. ngeles aja.”
“Hehe.. eh beb... emm Lang, sorry ya.”
“Buat?”
“Kemarin yang itu pertemuan keluarga itu.”
Langit terdiam, menatap Oliv heran. Kemudian dia memikirkan, apa yang membuat Oliv harus minta maaf? Bukan kah ini terjadi karena keegoisan orang tua mereka?.
“Kenapa emang?”
“Yaa pokok gitu lah. Eh gimana keadaan ka Senja. Udah nembak dia belum?”
“Ck belum, masih belum berani lah Liv. Hah... apalagi habis ngilang gini. Mana bisa, malahan bisa jadi selama aku ngilang dia udah punya pacar.” Langit begitu lesu kemudian menatap jendela kereta api.
“Lah? Menghilang gimana?”
“Ya selama di Jogja aku gak hubungin dia. Aku sibuk banget di rumah, sama yah tau lah yah. Makannya dari pada aku salah ngomong mending aku gak hubungin dia.”
“Ooo. Kan sekarang balik ke Kediri. Kalau dia belum punya pacar udah ungkapin aja. Kalau gak salah ka Senja tuh suka pantai Lang. Coba tembak dia di pantai. Pantai yang deket aja, pantai yang di Tulungagung kah, atau Blitar juga ada kayaknya. Trenggalek juga ada kayaknya. Yang deket-deket aja. Biar nanti berkesan gitu buat ka Senja. Kalau aku lihat siihh, dia juga suka.”
Langit yang tadinya suram langsung tersenyum tipis. Tapi wajahnya tetap memandang jendela kereta. Oliv juga ikut tersenyum, tapi senyum yang pahit baginya.
“Udah gass in aja. Nanti aku bantu. Sebelum diambil orang, oke?” Lanjut Oliv.
“Oke deal! Bantuin ya.” Langit tersenyum lebar.
***
Senja terbangun dengan rasa badan yang lemas sekali. Tidak bertenaga, hanya bisa bernapas itu pun terasa berat. Entah kenapa hampir satu bulan ini semua terasa berasa berat. Badannya terasa capek terus, kadang dunia terasa bergoyang, pandangannya juga sering kabur tiba-tiba, sebenarnya yang berisik itu dunia atau otaknya yang entah tidak bisa berhenti berpikir dimana Langit.
“Mbak kok pucet ngono wajahmu, gek panas yoan batukmu. Wes ijino ra usah kerjo tak tukok ne nasi remes ya mbe parasetamol.”
Senja sudah tidak sanggup menjawab, hanya dengan kedipan mata sudah lebih dari cukup. Meski mereka saling bertengkar tapi ikatan mereka sangat kuat.
Hari ini Senja di rumah sendirian, sebenarnya Sandra ingin di rumah untuk mengurus Senja. Tapi dia melarang adiknya di rumah. Potong gaji walau hanya sehari sudah terasa sangat berat. Sebisa mungkin jangan bolos karena masih banyak tanggungan yang belum di bayar. Karena itu Sandra menurut, hanya saja dia ijin datang terlambat karena harus mempersiapkan makanan untuk Senja di rumah.
“Mbak lak empane gak kuat telpon yo, tak muleh.”
“Hmm.”
Selama di rumah Senja hanya tidur, duduk, tidur, duduk saja sesekali dia pergi ke kamar mandi dan dapur untuk mengambil makanan. Dia sangat berusaha keras untuk cepat sembuh. Meski dia nanti akhirnya tau kalau hutangnya akan lunas di masa depan. Tidak membuatnya malas-malasan di masa ini.