Pagi ini Senja akan bertemu dengan Langit pukul 10.00 di kafe dekat rumahnya. Kafenya favorit Senja selain dekat rumah kafe ini ramah kantong. Berkonsep outdoor dengan pohon rindang di sekitarnya, ada juga area untuk lesehan. Bisanya di buka saat sore pukul 5.
Kali ini Senja datang lebih dulu, dia sudah siap-siap dan akan bersikap biasa seperti biasanya saat di masa depan ketika bertemu Oliv. Tersenyum walau kadang hati bergejolak ingin sekali mengumpat dan menjelek-jelekannya.
Sebelum mencari tempat duduk Senja memesan terlebih dahulu. Tanpa sadar Senja melakukan kebiasaanya di masa depan memesan untuk dia dan Langit. Dia sudah hapal dengan makan atau minuman favorit Langit. Terlebih tempat ini kelak akan menjadi saksi hubungan antara Senja dan Langit, jika masa depan tidak berubah.
“Duh? Kok aku pesan sih? Mana bisa juga di batalin. Udah lah gampang nanti.” Kesalnya kemudian mencari tempat yang teduh.
Tidak lama yang di tunggu datang. Langit menggunakan baju biru dengan kaos putih serta jaket hitam kulit dengan tas ransel andalan yang dia bawa kemana-kemana. Dia tersenyum tipis berjalan dari tempat parkir menuju Senja duduk. Kali ini tidak terlihat Oliv bersamanya. Kemana wanita itu? Biasanya dia selalu ada di samping Langit.
“Hai udah nunggu dari tadi ya?”
“Enggak sih baru aja duduk hehe.”
“Wihh udah pesen aja nih, gak nungguin aku dulu. Udah kelaparan kah? Haha.” Langit bercanda sambil melirik nomor pesanan di meja.
“Udah hehe.”
“Oke aku pesen duluan ya. Tunggu,” Langit meletakkan tasnya di meja.
“Eh gak usah, tapi aku sudah pesen.”
Langit tediam bingung, tapi dia mengangguk dan duduk perlahan. Sedikit canggung juga. Dia mengalihkan kecanggungan dengan menatap keseliling yang masih terlihat sepi.
“Okee. Hmm maaf, nih aku bayarnya berapa ya?” Langit sungkan.
Senja paham betul jika Langit tidak suka jika di traktir olehnya. Langit selalu membayar makannya sendiri. Bukan karena pelit. Karena bagi Langit uang hal yang sangat sensitif sebisa mungkin tetap harus di jelaskan. Terlebih uang di gunakan untuk makan. Begitu pula Senja memiliki prinsip yang mirip, dia harus membayar punya nya sendiri tidak bergantung ke siapapun bila berhutang pun harus segera di bayar. Setidaknya, uang tidak menjadi perbincangan di masa depan kalau ada sesuatu yang salah di hubungan antar orang.
“Nih hitung sendiri.” Senja sembari memberikan struk.
“K-kok pilihannya haha. Kamu cenayang atau gimana nih? Pas banget sama makanan yang aku suka.” Langit terheran-heran karena Senja dan Langit sebenarnya masih terbilang jarang bertemu dan nongkrong bersama. Tapi Senja tau betul kesukaannya.
“Iya aku kira-kira aja sih. Kayaknya kita pas pesen kamu sering pesen itu jadi yah gitu hehe.”
“Kayaknya udah apal ya sama makanan yang sering aku pesen pas kita ketemu. Padahal kita jarang ketemu dan ngafe bareng loh. Jadi malu haha.” Ucap Langit.
Senja hanya bisa tersenyum. Bertuntung dia bisa menghindar karena kebiasaan itu. Memang menghilangkan kebiasaan yang sudah di lakukan lebih dari 1 tahun memang sulit. Tidak bisa hilang begitu saja.
Mereka mulai mengobrol bercanda asik. Senja dan Langit selalu memiliki sejuta topik untuk di bahas. Bahkan situasi, benda sekitar pun bisa menjadi pembahasan yang panjang tidak ada akhir.
Makanan yang di pesan pun datang menghampiri meja mereka. Satu persatu pesanan di turunkan dari nampan pelayan. Dan seakan-akan alam mendukung pesannanya pun turun di depan tuannya.