Lama sekali Langit tidak membalas pesan, sepertinya dia benar-benar sibuk. Tapi Senja tidak menyerah, karena dia juga sudah tau dimana tempat Langit bekerja, dia menghampiri Langit ke tempat kerjanya. Ini adalah hal yang diluar kebiasaan Senja.
“Berani aja lah ya, apapun yang terjadi.”
Tidak lama yang di tunggu datang. Langit keluar dari tempat kerjanya berjalan lesu menuju motornya. Namun saat berjalan dia menatap Senja. Sepertinya dia tidak percaya Senja datang ke tempat kerjanya. Berkali-kali dia mengucek matanya dan kemudian menghampiri Senja dengan wajah yang riang, terlihat Senja juga lelah, sepertinya sudah lama menunggu.
“Loh Ja, ada apa kesini?” Tanya Langit.
“Pengen ngobrol aja, soalnya kamu di hubungin susah.”
“Oh iya lagi banyak kerjaan Ja. Ya udah yuk kita ngobrol disana aja, ada kafe.”
Langit menunjuk kafe yang berada di sebelah kantornya. Senja pun mengikuti arahannya. Memparkirkan motornya di depan kafe. Dengan modal nekat ini Senja kebibgungan, Dia tidak tau harus bagaimana kalau sudah ketemu.
“Gimana Ja, ada apa?”
“G-gak apa-apa cuman pengen ngobrol a-aja.” Senja grogi.
Langit tersenyum dengan wajahnya yang lelah.
Kasihan banget, harusnya aku gak nekat gini gak sih? Harusnya dia udah pulang istirahat di rumah. Gak! Pokoknya aku harus buat kenangan sebanyak mungkin supaya di masa depan aku masih bisa lihat fotonya.
Saat makanan datang Senja memfoto makanan yang di sajikan dari berbagai posisi. Tapi sebenarnya ada satu posisi yang fokusnya bukan ke foto makanannya, tapi fokus ke Langit. Terlihat wajahnya yang lelah, tersenyum tipis. Dan karena sudah mendapatkan foto Langit, Senja buru-buru memakan pesananya dan pergi. Selama makan Senja banyak diam karena memang bingun tidak tau mau ngobrol apa.
“Ja, kesini Cuma numpang makan nih ceritanya? Haha.”
Senja tertawa, Langit pun tertawa. Tiba-tiba muncul ide skenario bohong untuk di ceritakan kepada Langit. Supaya tidak begitu canggung.
“Aku tadi pulang awal Lang, soalnya toko perbaikan. Nah, aku pengen ke kafe ini sebenarnya dari dulu. Terus kan aku cari jalannya dan sampai. Tapi aku gak berani masuk. Mau ngajak Sandra aja besok. Terus aku baru sadar kalau ada tempat kerjamu disini. Yah sekalian aku ngamati aja hehe.”
“Oalah, tau gitu, aku kasih info kamu duluan Ja. Menunya apa, estimasi harganya berapa biar gak kaget haha.”
Memang sih makanan di kafe ini tidak ramah kantong untuk pekerja seperti Senja. Namun demi Langit apa pun bisa di lalui. Walau dengan modal nekat seperti ini.