"Aku selalu berencana yang terbaik untukku. Tapi nyatanya, rencana Allah jauh lebih baik dari yang kurencanakan"
___________________
Hujan mengguyur kota Bandung dengan deras sore hari ini. Awan hitam serta petir yang menggelegar dengan angin kencang membuat orang-orang sibuk mencari tempat teduh, menjadikan amper toko, dan halte sebagai tempat berlindung, tidak lupa banyak pengendara yang nekat menerobos hujan.
Kerudung lebarnya berwarna biru sudah terlihat basah dan lusuh akibat ia berlari menerobos hujan menuju halte dengan gadis kecil yang ia gandeng dengan hati-hati.
“Bunda, dingin,” lirih anak kecil yang memakai jepit rambut kupu-kupu dikepalanya.
Gadis itu mendongak menatap putri kesayangannya.
“Sini Bunda peluk.” Gadis dengan gamis hitam itu mensejajarkan tingginya dengan anaknya lalu memeluk kuat tubuh mungil itu, memberikan kehangatan lewat pelukan.
“Bunda, hulannya macih ama?” tanyanya dengan suara khas anak kecil yang belum pintar berbicara.
“Sabar ya sayang, bentar lagi hujannya reda,” jawab gadis itu dengan lembut diakhiri dengan senyuman manisnya, yang membuat siapa saja melihatnya akan berucap masyaallah.
Dari arah kejauhan seseorang juga berlari menuju halte yang sama dengan tas sebagai penutup kepala. Sesampainya di halte pria itu mengibaskan jaketnya yang tampak basah lalu kembali menyadang tas hitamnya.
Selang beberapa detik, matanya langsung tertuju pada gadis berkerudung biru yang tengah memeluk anak kecil tepat disebelahnya. Matanya tampak berbinar saat melihat wajah cantik dari gadis muda disampingnya.
“Masyaallah, sungguh indah ciptaanmu Tuhan!”
“Bunda, nanli Caca mau ambar,”
Pria yang masih menatap pada satu titik dimana gadis itu berada sontak langsung membulatkan matanya. Jantungnya terkejut bukan main. Namun, pada tiga detik berikutnya ia mendengus penuh penyesalan. Membayangkan seandainya bisa memiliki gadis cantik dan sholehah itu, tapi semua sirna akibat anak kecil berusia tiga tahun itu memanggil dengan sebutan bunda.
Hujan yang tadinya deras seketika berubah menjadi gerimis. Tanpa menunggu lama gadis muda itu berdiri lalu mengeratkan pegangannya pada jemari mungil Caca.
“Yuk, kita naik angkot aja,” ajaknya pada Caca dan anak kecil itu mengangguk tanpa ragu dan mereka berdua segera berlalu dari halte. Meninggalkan seorang pria yang telah menaruh hati padanya saat jumpa pertama.
“Andai ajo lo belum nikah, udah gue gotong lo ke KUA!” gumamnya sambil menatap angkot yang mulai berjalan menjauh.
***
Pintu kokoh berwarna putih berseri itu terbuka setengah, memperlihatkan seorang gadis muda dan anak kecil yang berada dalam gandengannya. Seakan peka jika ada aura mencekam di dalam rumah itu membuatnya masuk dengan hati-hati, matanya menangkap ada kesinisan dari tatapan bibik dan sepupunya. Lalu ada guratan kecemasan di wajah pamanya. Ia baru sadar sekarang, bahwa keluarga pamannya itu sedang berkumpul diruang tamu, seakan menunggu dirinya pulang.