Hujan masih mengguyur ketika Senja tiba di rumah. Gemuruhnya tak terlalu keras, tapi cukup untuk menenggelamkan suara hatinya yang sejak tadi gelisah. Langit kelabu menggantung rendah di atas atap seng yang mulai berkarat. Rumah itu berdiri kaku, seperti tubuh tua yang enggan roboh meski tulangnya nyaris retak. Pintu kayu mengeluarkan derit lirih saat ia dorong, seolah menolak kehadirannya.
Tak ada suara yang menyambut.
Tak ada aroma masakan yang biasa menyapa anak pulang sekolah.
Hanya aroma lembab dan bau kayu lapuk, bercampur asap rokok basi yang tertinggal di udara.
Senja melepas sepatunya pelan. Ia menggantung tas di paku dinding yang sudah berkarat. Lampu ruang tamu menyala redup, menyinari sofa kusam dan meja yang hanya dipenuhi koran tua serta abu rokok ayahnya. Di dinding tergantung foto keluarga yang tak pernah diganti—Senja kecil, usia lima tahun, tersenyum kikuk di antara ayah dan ibu yang tampak saling asing meski berdekatan.
Ia menatap foto itu lama. Semakin ia perhatikan, semakin ia sadar: keluarga itu hanya tampak utuh dalam bingkai. Di luar sana, mereka adalah reruntuhan yang berdiri pura-pura.
Dapur terdengar sunyi saat ia melangkah masuk. Ibunya duduk membelakangi kompor, tak bergerak, memandangi dinding dengan wajah kosong.
“Ibu...” sapa Senja pelan.
Tak ada jawaban.
“Ibu belum makan?”
Ibunya menggeleng pelan. Mata yang sayu menoleh, lalu tersenyum kecil. Senyum yang lebih mirip luka yang dipaksa tampak sembuh.
“Hari ini hujan... banjir di kampus,” kata Senja, mencoba mencairkan suasana.
“Jangan pulang malam-malam,” jawab ibunya pelan.