Senja yang tak pernah pulang

Yuni ekawaty
Chapter #3

Pelukan yang terlambat

Senja tak menyangka ia akan berjalan berdua dengan Brian malam itu, menyusuri trotoar basah sehabis hujan, dengan lampu-lampu kota yang memantul di genangan air. Hawa dingin menusuk kulit, tapi anehnya, hatinya terasa lebih hangat dari biasanya.

"Masih suka hujan?" tanya Brian, mengangkat alis sambil menoleh ke arahnya. Senja mengangguk pelan. “Selalu. Dulu, hujan satu-satunya hal yang bisa menenangkan aku waktu semua di rumah kacau.”

Brian tak langsung merespons. Tapi langkahnya melambat, dan tangannya secara refleks menyentuh lengan Senja. “Kalau kamu kedinginan, bilang ya.”

Sentuhan itu sederhana, namun menyentuh bagian diri Senja yang paling rapuh—bagian yang haus akan perhatian, sekecil apa pun. Ia mengangguk, tidak berkata apa-apa.

Mereka berhenti di bawah kanopi toko roti yang sudah tutup. Brian bersandar ke dinding, dan menatap Senja dengan sorot yang membuatnya ingin memalingkan wajah.

“Aku gak pernah berhenti mikirin kamu, tahu gak?”

Kata-kata itu terlepas begitu saja dari mulut Brian, namun masuk seperti gelombang ke dalam hati Senja. Ia tercekat. “Apa maksudmu?”

“Waktu kita SMP... kamu selalu kelihatan kuat. Tapi aku tahu, kamu nyembunyiin banyak hal. Dan aku gak bisa bantu. Aku nyesel banget. ”Senja menggigit bibir. Udara terasa sesak.

Lalu, tiba-tiba, pelukan itu terjadi. Brian menariknya ke dalam dekapannya. Pelan, hangat, dan tanpa paksaan. Hanya pelukan. Tapi bagi Senja, itu seperti pelukan pertama dalam hidupnya yang benar-benar tulus.

Dadanya berguncang. Ia tidak menangis, tapi air matanya jatuh juga. Ia tak bicara, hanya membiarkan tubuhnya diam dalam pelukan itu, seperti sebuah pintu yang lama terkunci akhirnya terbuka.

Namun di sela kehangatan itu, ada bisikan dalam hati Senja yang mengusik: jangan mudah percaya.

Sebab kehangatan pun bisa menipu. Dan cinta—terkadang menyamar sebagai pelindung, lalu perlahan berubah menjadi perangkap.

Ketika mereka melepaskan pelukan itu, Senja menatap Brian lama. "Terima kasih," bisiknya. "Tapi aku belum tahu... apakah aku siap untuk diselamatkan."

Brian mengangguk pelan. “Kamu gak perlu siap. Kamu cuma perlu tahu, kamu gak sendirian.”

Malam itu, Senja pulang dengan langkah ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin melawan rasa takutnya. Bukan demi orang lain, tapi demi dirinya sendiri. Dunia mungkin belum berubah, tapi hatinya sudah mulai membuka jendela kecil untuk cahaya masuk. Dan itu... sudah cukup untuk memulai .

---

Langit malam tampak lebih bersih saat Senja turun dari angkutan terakhir dan menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Cahaya lampu jalan yang biasanya terasa dingin kini memantul lembut di matanya. Ada sesuatu yang berbeda di dalam dadanya malam ini—perasaan yang lama tak ia kenali: lega.

Kunci rumah yang biasanya terasa berat di tangannya, malam ini nyaris tak terasa. Ia membuka pintu perlahan. Rumah itu masih sama—gelap, sepi, dan pengap. Tapi anehnya, malam ini Senja tidak merasa sesak.

Ia melepas sepatu dan berjalan pelan ke kamarnya. Tak ada suara dari ruang tengah. Ayahnya mungkin tertidur di sofa, dan ibunya entah di mana lagi tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tapi Senja tidak merasa marah. Ia hanya ingin rebah.

Di kamar kecilnya yang lembab, ia meletakkan ponsel di atas meja dan duduk di atas kasur tipis. Masih tak percaya, bahwa pelukan tadi benar-benar terjadi. Bahwa seseorang benar-benar melihat dirinya—bukan sebagai anak dari rumah kacau, bukan gadis pendiam yang selalu ingin cepat pulang, tapi sebagai Senja, apa adanya.

Ia mengambil ponsel, membuka layar, dan tersenyum saat membaca pesan masuk dari Brian:

“Sudah sampai rumah? Kalau kamu butuh teman, aku selalu ada. Pelan-pelan ya, Senja. Dunia ini berat, tapi kamu gak harus jalan sendiri.”

Pesan itu sederhana. Tapi mampu menghangatkan ruang kosong di dalam dirinya.

Lihat selengkapnya