"Aku suka kamu yang sekarang. Lebih berani, lebih ceria,” kata Brian sambil menyeruput kopinya. Senja tertawa kecil, wajahnya memerah.
“Kalau aku berubah, itu karena kamu datang di saat yang tepat,” jawab Senja, menunduk malu.
Sudah hampir dua minggu sejak reuni itu, dan Senja merasa seperti hidupnya benar-benar mulai dari nol. Brian nyaris selalu hadir. Mereka pergi makan bersama sepulang kerja, bertukar pesan hampir setiap malam. Brian tahu kapan ia sedang sedih, tahu apa makanan favoritnya, bahkan hafal nada tawa Senja saat sedang gugup.
“Kadang aku takut ini cuma mimpi,” kata Senja suatu sore ketika mereka duduk di taman kota.
Brian menoleh cepat sembari tersenyum menjawab dengan penuh keseriusan “Kalau ini hanya mimpi, aku tak ingin segera bangun.”
Senja tersenyum. Bahu mereka bersandar satu sama lain. Senja mulai percaya, mungkin inilah yang disebut pulang. Bukan tempat, bukan rumah... tapi seseorang.
Namun ternyata kebahagiaan itu tak ingin bertahan lama.
Hari itu, Senja sedang mengecek Instagram saat matanya terpaku pada sebuah unggahan story dari akun milik Jelita. Terlihat Brian duduk di sebuah kafe bersama seorang perempuan cantik berambut ikal sebahu, tertawa akrab.
Di caption tertulis:
“Ketemu sahabat paling seru. Welcome back, Jingga!”
Nama itu membuat jantung Senja berdegup tak karuan. Ia merasa seperti ditarik kembali ke dalam ruang gelap. Tangannya gemetar saat mengetik pesan ke Brian.
Senja: difoto jelita kamu duduk sama siapa?
Lima menit. Sepuluh menit. Tak ada balasan.
Baru setelah hampir satu jam, Brian membalas:
Brian: Oh, itu Jingga. Teman lama dari kuliah. Baru pulang dari Belanda. Cuma ngobrol-ngobrol biasa kok.
Senja: Kenapa gak bilang?
Brian: Maaf, karena pertemuan mendadak jadi aku lupa memberitahu
Senja menggigit bibir. Kata-kata itu—lupa memberitahu—terasa lebih menyakitkan daripada pengkhianatan itu sendiri.
Esoknya, Brian tiba-tiba membatalkan janji mereka untuk makan malam.
Brian: Kayaknya aku butuh waktu sendiri dulu, lagi banyak pikiran.
Senja membaca pesan itu berulang-ulang, mencoba menelaah makna tersembunyinya. “Waktu sendiri” terdengar seperti langkah mundur. Padahal baru beberapa hari lalu mereka bicara soal liburan bareng ke Jogja.