≠Kenapa kuntilanak suka gelayutan di pohon ? Karena kalo sukanya arisan, namanya Kuntilibu
Senja kaki gunung Kareumbi, kabupaten Bandung. Jingga merambati gunung dari kemunca, perlahan merayap hingga kaki. Mentari bersembunyi, tinggal alisnya yang tampak di ketiak Kareumbi. Semburat layung merah menyala. Angin meracik merah jadi binar oranye yang mempesona. Fauna Kareumbi bersembunyi. Para nokturnal berancang aksi.
Gallus galus (ayam hutan) bersembunyi di balik kekar rasamala. Tekukur dan gelatik hening dibalik damar, sementara kutilang mendekap anak-anaknya di balik Saninten. Rusa Jawa sudah lama pergi entah kemana. Galak, meong sesekali menggema menyelipkan rindu di sela belantara.
Kafilah kupu-kupu merah biru kuning yang sedari tadi asyik mengisap serbuk liana, epiphyt dan sesekali beralih ke angbulu, anggrek merpati, anggrek bulan dan kadaka, kini menyelinap di balik pinus. Meniduri malam menanti pagi.
Kepiting bungur merayapi pinggiran sungai kecil. Mengumpulkan lumpur membangun rumah tempatnya berlindung. Bancet mengintip dari balik bebatu, bersiap berlatih jadi pasukan katak. Bogo, nilem dan golsom masih asyik berburu serangga malam yang tak sabar menanti masa. Para penghuni air Kareumbi, berdendang ritmik lagu gemericik yang dilantunkan air terjun kecil mata air Cihanyamar.
Kareumbi, lukisan alam yang tak terperi. Cermin surga di muka bumi. Sungguh petaka bila anak-anak kehidupan tak bijak memelihara.
34 anggota Diksar Malika tegap di kaki Kareumbi. Bersiap memulai rangkaian agenda diksar yang berat. Ritual upacara pembukaan diksar pun siap digelar. Hamparan rumput luas kampung Leuwiliang, desa Tanjungwangi jadi arena upacara yang magis.
Para Anggota aktif dan senior bersiap memulai acara. Semua dibawah pengawasan Para Pendiri. Elang ditunjuk sebagai korlap yang bertanggungjawab penuh pada keselamatan peserta. Kali ini sang ketua Mapeangba, Zeno tak berdaya. Ia tak punya otoritas disana. Penentu keberhasilan para peserta, termasuk tujuh mahasiswi pilihannya, adalah para senior dan pendiri. Ia hanya jadi simbol formalitas. Ambigu di tengah dingin membatu.
Tapi, bukan Zeno namanya kalau kehabisan akal mendekati tujuh bidadarinya itu. Ia menempel Elang, sang korlap. Kemanapun Elang bergerak, bak perangko, ia menempel tak sudi lepas barang sesaat.. Gerak Elang yang sangat dinamis dan rapat dengan peserta, menjadi kesempatan terbuka bagi Zeno untuk menjalankan aksinya.
Usai upacara pembukaan, agenda dilanjutkan dengan ishoma, maghrib dan Isya. Selepas Isya perjalanan panjang nan berat pun dimulai. Elang dan Zeno sudah lebih dahulu menembus pekat malam Kareumbi, memeriksa kesiapan pos-pos tahapan. Zeno yang miskin pengalaman, menempel Elang seperti perangko.
“Ih...apaan sih lu No...geli tau!” umpat Elang pada Zeno yang terus menempelnya.
“Bodo amat...pokoknya gue nempel lu terus.”
“Iya...tapi ga gini juga kali.” Hardik Elang seraya menepis tangan Zeno yang melekat erat di tangan kanannya. Keduanya kembali dalam langkah hening membelah pekat Kareumbi.
“Lang...Lang...itu apaan?” seru Zeno seraya berhenti tiba-tiba, sambil mengarahkan senter ke arah pohon pinus besar di belakang punggungnya, tepat di arah jam 6. Tak nampak apapun.
“Kunti...itu kuntilanak.” Seru Elang sekenanya.
“Hus...jangan sompral lu...” Zeno melompat kebalik punggung Elang. Ia diterjang takut yang akut. Tubuhnya merapat ke balik Elang.
“Oh...sorry...sorry tadi gue ngomong sompral ya,? sorry tu bukan Kunti, itu Mak Lampir!” goda Elang makin gila.
“Hah...elu tuh Lang, lagian Mak Lampir mah di Merapi kale.”
“Iye dia lagi plesiran di mari, nengok ponakannya si Kunti.”
“Haah...lu tuh Lang, udah ah ...tapi beneran loh tadi gue kaya ngeliat seke...sele..sekebe..selekebatan kaya bayang gitu.”
“Sekelebatan,! Panjul.” Elang pun diterpa rasa penasaran. Ia menghentikan langkahnya sesaat dan memutar badan. Sorot lampu mengarah ke atas pohon, tak ada apa-apa. Sorot lampu merayapi pohon hingga ke kaki pohon. Tiba-tiba....tepat di titik fokus senter Elang, muncul sosok menyeringai.
“Kun...Kun...Kunli...tanak !!! jerit Zeno norak, tangannya mendekap erat Elang dari belakang.
“Siap...saya Devi Kak, bukan Kunlitanak.”
“Mbuaha..ha...ha...ha No...No...” gelak Elang membahana di setiap sudut Kareumbi.