#Menyayangi ibumu tiga kali lebih besar dibanding ayahmu, bukan berarti ayahmu mesti beristri tiga
Hidup meniscayakan keragaman. Sudut pandang adalah pelatuknya. Sementara mata hati adalah kacamata nalar untuk tak silau. Kacamata hati untuk tak gopoh menafi keragaman. Mata hati diasah oleh rasa mengalami. Tajamnya mata hati adalah sendok penyeduh keragaman untuk jadi secangkir kopi yang nikmat dihirup di pagi hari.
Pun, keragaman meniscayakan jarak. Jarak yang membelokan pandang. Lurus jadi bengkok. Bengkok jadi lurus. Curiga adalah teman sang jarak. Karena berjarak, manusia mencuriga. Jarak yang tak melulu jasadi tetapi lebih sering maknawi. Itulah seninya berhidup.
“Lang...tuh liat anak itu !”
“Kenapa emang dia?”
“Mencurigakan banget.”
Rupanya peristiwa plak...! si Gladys masih membekas kuat di benak Zeno. Rasa curiga di dalam dirinya buncah. Ia jadi parno. Apapun selalu dikaitkan dengan peristiwa plak! itu. Jadi detektif, mungkin resolusi lama yang terpendam, yang mencari pintu untuk unjuk diri.
“Ah...halu”
“Nggak tuh liat!”
“Dia cuma jualan kue No...”
“Iye...gue juga tehe, tapi tingkahnya itu loh.”
“Emang kenapa tingkahnya?”
“Celingukan, kaya ngintip-ngintip gitu,”
“Udahlah jangan ngurusin urusan yang bukan urusan kita!”
“Iye...tapi dia mencurigakan banget...tuh clingak-clinguk lagi.”
“Iye...kaya loh tuh, clingak-clinguk kaya si SR”
“Hah...sapa tuh SR?”
“Siti Ropeah bung!”
“Oh...sapa tuh?”
“Ah seterah loh deh.”
Mata mereka berdua tertuju pada sosok kecil yang memang sedari tadi celingukan dibalik kiara payung. Tubuhnya kurus, poni hampir menutupi mata, sandal jepit, kaos oblong lumayan rapi. Di tangannya, wadah kue berbentuk bulat, diameter 40 cm. Tapi matanya itulah yang paling mencurigakan. Entah sedang mengintip, menunggu atau mencari sesuatu atau seseorang.