#Jangan pernah pake narkoba,! apalagi di depan umum. Jangan pernah lupa pake celana apalagi di depan umum!
Satu minggu berlalu, Zeno masih penasaran. Ia masih menaruh curiga pada anak kecil penjual kue itu. Dimatanya tingkah anak itu begitu mencurigakan. Menurutnya, anak itu lebih dari hanya sekedar penjual kue, tapi Zeno yakin, ia menjual sesuatu yang lain.
“Lang...ayolah kita selidiki lagi anak penjual kue itu!”
“Ih...ngapain sih No... kaya kurang kerjaan aja, udah ah gue gi sibuk nih,” elak Elang sambil matanya penuh seluruh ke arah handphonenya.
Zeno yang penasaran, menyelinap ke belakang Elang, mencoba mengintip apa yang tengah dilakukan Elang dengan hp nya.
“Ah...ketuaan lu, ternyata lagi pacaran!”
“Hus...sapa yang lagi pacaran? Lagian siapa yang udah tua?
“Maksud gue ketauan...he...he..ayo ngaku lagi pacaran, kan?”
“Ih ngaco loh ya...sapa juga yang lagi pacaran?”
“Idih...pake ngeles udah jelas gitu.”
“Jelas apaan?”
“Ha...ha...si pemuja rahasia ketauan...ha...ha...”
“Apaan sih No...ga je...”
“Duhai Senja...Rindang Kelana Senja, tunggulah Abang di perbatasan senjamu”
“Ih...jijai No...jijai”
“Halah pake jijai segala, ngaku ae bos...ngaku!”
“Apa yang harus hamba akui, paduka Zeno, Raja Semprul yang hina?” Elang mulai memancing kegilaan Zeno.
“Ha...ha...sungguh berani engkau mencintai putri Senja. Ketahuilah wahai jelata Elang yang papa. Telah banyak pangeran tamfan dari kerajaan seberang yang meminangnya. Mereka datang dengan timbunan emas permata bahkan berlian. Sedang engkau, apa dayamu? Engkau miskin papa. Jangankan harta, wajah pun engkau rata-rata.”
“Sompret lu No...”
Ajakan Zeno pada Elang, untuk kembali menyelidiki misteri anak penjaja kue, tak digubris. Elang dengan tegas mengatakan bahwa Zeno halu.
Pagi itu Elang jalan kaki dari rumah ke tempat mangkal angkot yang akan membawanya ke kampus. Motor kerennya sedang manja, ia mogok bunyi. Pelan langkah Elang menelusuri gang. Dua tiga kelokan, sampai kemudian langkahnya terhenti oleh suara orang berbisik-bisik.
“Kamu ga usah takut, tenang aja, aman kok!”
“Tapi aku takut Kak, minggu lalu ada dua orang nangkep aku.”
“Iya aku tahu, kamu kan udah cerita.”
“Makanya aku takut banget Kak”
Hah...dua orang nangkep aku? Bisik hati Elang penasaran. Ia pun mencoba mencari sumber suara itu. Ia pun menyelinap dibalik tembok pagar rumah besar Ko Aming. Dari sana ia bisa melihat dan mendengar dengan jelas. Ah rupanya si Gladys dan anak penjual kue itu!
“Bumi...dengerin Kakak yah. Mereka itu cuma mahasiswa cemen yang ga punya kerjaan, jadi cuekin aja.”
Sialan!, umpat Elang dalam hati. Enak aja gue dibilang mahasiswa cemen ga punya kerjaan. Padahal beberapa hari lalu aku kan udah nolongin kamu dari gamparan mas Prabu. Oh...rupanya anak itu namanya Bumi.
“Ya tapi mereka serem-serem Kak, apalagi yang pake kacamata, aduh serem banget.”
Hmm...pasti si Zeno, gumam Elang.
“Udah ga apa-apa Kakak jamin deh ga bakal ada apa-apa. Lagian kamu butuh uang kan?”
“Iya Kak, ibu masih harus berobat, mana obatnya mahal-mahal lagi.”
“Nah...makanya terusin jualannya ya!”
“Iya deh Kak.”
“Apalagi buat bos besar, dia kan paling royal ngasih tips buat kamu.”
“Iya Kak, dia juga sering beli kue kesukaannya, risoles”
“Nah...tuh kamu ngerti, kamu memang anak pinter.” Ujar Gladys sambil tak henti mengusap kepala Bumi dengan penuh belai kasih.
“Besok ada paket, kamu kirim ke bos besar ya!”
“Iya Kak, tapi gimana sama dua orang cemen itu?”
Huh sialan juga tu bocah, pake bilang gue cemen lagi. Awas tak jitak palamu! Umpat Elang, masih dalam hati.
“Ga usah takut, mereka cemen ga akan ngapa-ngapain kamu, mereka kan sudah dimarahin sama bos besar. Jadi ga usah takut yah.”
“Iya deh Kak.”