#Manusia paling jorok sedunia adalah penjilat
Pagi ini berbeda. Matahari seperti memendam rasa, entah apa itu? Pohon beringin disebelah kiara payung, tegap berdiri di pojokan kampus. Diam kaku menikmati patukan kenari yang sedari tadi datang silih berganti. Angin sesekali bertiup kencang, sesekali diam.
Awan menggambar langit dengan absurditas yang elok. Putih-putih, abstrak tanpa secuil makna yang bisa dinukil manusia. Permadani angin itu berganti-ganti rupa sesukanya. Rupanya hari ini ia benar-benar merdeka. Di kejauhan, Manglayang dan Tangkuban Perahu menggerutu. Lama tak disambangi anak-anak kehidupan.
Barisan semut hitam, apik meliuki tembok gerbang kampus. Mereka tetap setia mencari tuannya yang hilang pada drama air bah yang melegenda. Sapa adalah kata wajib setiap kali mereka bertatap muka. Pemandangan sejuk yang mestinya jadi guru. Guru kehidupan anak manusia yang telah murtad dari kebenaran. Anak manusia yang gemar bertengkar, merasa diri paling benar.
Terik matahari kini menukil sebuah rasa yang tadi tak terjawab, rasa penasaran.
Jam 9 tepat, seperti matahari yang penasaran, Elang, Zeno dan Prabu bertemu di parkiran kampus.
“Mas mana temen Mas yang polisi itu?” tanya Zeno khawatir.
“Oh...tenang aja No...dia bilang mereka bakal dateng diem-diem”
“Jadi mereka pake acara nyamar Mas?”
“Yoi, biar si penjahat ga curiga.”
“Widih bakalan seru nih.”
“Ya...kita diminta ga terlalu dekat dengan TKP, dari jauh aja.”
“Ok deh.” Seru Elang dan Zeno bersamaan.
Setengah jam kemudian, sosok kecil ringkih itu masuk ke gerbang kampus. Masih dengan wadah kue berbentuk bulatnya. Sesekali ia berteriak menawarkan kue dagangannya. Satu dua mahasiswa membeli barang satu dua potong kue.
Ketiga pasang mata itu fokus mengamati tingkah polah Bumi yang tampak mulai gelisah. Jarum di jam tangan Elang tepat menunjukan Jam sepuluh kurang lima menit. Seperti yang mereka duga, Bumi melangkah meninggalkan teriakan mahasiswa yang bermaksud membeli kue dagangannya. Setengah berlari ia memasuki wings kantor. Ketiga pasang mata itu hanya bisa melihat dari kejauhan.
Seperti ‘dejavu’, Bumi mengetuk pintu ruangan pak Zul dengan gelisah. Setelah dua tiga ketukan, pintu itu terbuka. Bumi dengan wadah kue ditangannya pun masuk. Pak Zul menyambutnya dengan ramah, seperti biasanya.
Bak lintasan kilat yang datang tiba-tiba. Seketika itu muncul empat...ah bukan...lima sosok tegap berjaket hitam berlari dan segera mendobrak masuk. Ketiganya terkesiap oleh kejadian yang begitu tiba-tiba itu. Tak butuh waktu lama, lima sosok tegap itu keluar dari ruangan dengan pak Zul dan Bumi yang sudah terborgol.
Mereka melintasi tempat Prabu, Elang dan Zeno berdiri mengamati. Tepat dihadapan Zeno, pak Zul menunduk penuh rasa malu. Sebuah kata usil keluar dari mulut Zeno.
“Risoles pak?
Ratusan pasang mata mahasiswa menyaksikan drama tragis itu. Sejuta sumpah serapah mereka bombardirkan ke hadapan pak Zul yang benar-benar telah menghancurkan nama baik dan mencoreng wajah kampus tercinta mereka. Mereka benar-benar tak mengira, bahwa dekan yang mereka hormati adalah pemakai lama barang haram itu. Merekapun tak menduga bahwa si kecil, Bumi, si penjual kue, adalah kurir sabu.