#Group band keren paling banyak personilnya adalah Dewa 19
Sore Sabtu, Tuhan menyingkap tirai langit. Rerintik air Tuhan basah, bumi tersungging. Matahari bersiap melukis pelangi. Pelangi ufuk barat yang sendu. Semilir angin sore beranjak menjemput senja. Repihan siang terserak jadi debu kehidupan yang lalu. Senja tersenyum, sambut uluran tangan sore yang ramah.
Rindang dedaun srikaya, riuh menadah kafilah rerintik yang ritmis. Cekungnya bak danau, tempat mandi garengpung yang kepanasan. Khalifah katak diam-diam mengumpulkan para remaja, membentuk choir, bersiap mengorkestrasi alam dengan kidung malam. Tak sabar, mereka menunggu datangnya gelap.
Senja masih dengan cantiknya. Elok membiaskan jingga, bercak mozaik oranye. Lukisan Tuhan tanpa bingkai. Pelangi senja semakin nyata anggunnya. Lengkungan manja para pemuja cinta. Hiasan sudut langit yang sahaja. Sesekali cemeti malaikat gundamkan rindu. Putih, kilatannya membelah ruang hampa, berhimpun disitu-situ saja, tanpa menyentuh alas langit.
Aprikot, Nectarine dan peach, menghiasi taman muka cafe Lentera. Merah nectarine menggoda untuk dipetik. Aprikot dan peach masih dengan kuntumnya. Kuning daun legistrum mengundang untuk dicumbu. Putih bercak hijau daun puring, berdiri anggun di pojokan. Buncah anggun, merah daun kastubi (katusbi) bergantung rapih di bentangan kayu besar, kanan kiri Lentera.
Dua lagu buah tangannya sendiri usai disenandungkan Elang. Petikan gitar akustik di tangannya, lebih dari cukup untuk menyempurnakan penampilannya. Para pengunjung Lentera terhipnotis dengan lantunan bariton Elang yang gagah namun lembut. Semua mata, terutama wanita, asyik mencerap setiap gerak Elang yang sederhana namun penuh pesona.
Elang adalah musisi sunyi. Lagu balada buah tangannya telah banyak dipakai penyanyi major label dan berbuah kesuksesan. Sementara dia sendiri asyik bersembunyi dibalik nama “Rimbaka”, sebagai pencipta lagu.
Kursi pengunjung penuh sesak, hanya dua kursi tersisa dengan satu meja kecil di pojokan. Rupanya para pengunjung saat itu adalah pengunjung tetap cafe Lentera. Mereka adalah para penikmat lantunan Elang yang memang mempesona.
Setiap ujung lagu disambut dengan tepukan, teriakan dan suitan tanda salut. Sampailah Elang di lagu ke tujuh dari delapan lagu yang akan dibawakannya. Lagu dengan tajuk “Bandung Sore Itu”. Seperempat lagu baru dimainkannya, dua sosok tak asing hadir di tengah keriuhan sendu lentera. Zeno dan sosok cantik. Sosok yang diam-diam telah berhasil membuka pintu cinta Elang yang lama terkunci. Sosok anggun, Senja, lengkapnya Rindang Kelana Senja. Nama yang teramat indah dimata Elang.
Zeno duduk dengan gaya kepedeannya, sementara Senja, larut. Bola mata Senja begitu binar menatap Elang. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum jingganya. Elang yang menyadari kehadiran mereka sempat grogi. Ia tak mengerti, bagaimana bisa Zeno dan Senja datang di tempatnya ngamen.
Lagu terakhir, seperti ditata semesta, “Kidung Senja”. Senja pun berbunga. Petikan gitar Elang ritmik mengiris rasa. Baritonnya menggema, resonansi indah titipan Tuhan pada seorang Elang. Senja pun hanyut, ia tak lagi perduli pada Zeno di sebelahnya, apatah lagi pada pengunjung lain yang tak dikenalnya. Ia larut dalam kidung senja Elang. Ia menghirup lagu itu sebagai lagu khusus untuknya.
Rintik gerimis di luar Lentera, ditingkahi leleh air mata Senja. Entahlah, lagu yang baru didengar pertama kali itu begitu menyentuh kalbunya. Lelehan jiwanya terbayang dalam bulir yang menetesi pipi dan kerudung merah jambunya. Elang tak kalah terpana. Ia merasa sedang berdua saja dengan Senja. Gumam hatinya, Senja, dunia ini SHM kita berdua, yang lain HGB.
Usai sudah pertunjukan cinta Elang, gemuruh tepukan dan suitan membahana. Beberapa bahkan meminta Elang untuk terus bernyanyi, permintaan yang ditolak Elang dengan halus.
Elang pun ragu menghampiri Zeno dan Senja. Pelayan mengantarkan sebuah kursi bulat untuk Elang duduk. Mereka pun kini bertiga beradu kening.
“Widiiih...Boril dengan sejuta pesonanya....gile bener!”
“Haah...apaan si loh. Eh...Senja, kamu kok ada disini juga?” lirik Elang pada sang bidadari.
“Iya...tadi aku diajakin Zeno.”
“Oh...”
“Emang aku ganggu ya?” tanya Senja cemas.
“Wah...nggak...nggak...aku malah seneng kok kamu dateng.”
“Syukur deh kalo ga ganggu. Tau gitu kita dateng lebih awal ya No...”
“Iya... sruuuut...!” Zeno dengan sedotan es kelapa mudanya.
“Kang, lagu kamu bagus....eh bagus banget” puji Senja.
“Wah masa sih... jadi kepengen malu.” canda Elang.
“Ih...beneran bagus.”
“Bagus apanya? goda Zeno.