#Quotes favorit komunitas pendiam Indonesia (KPI) : “Biarkan hati yang bicara”
Liburan tengah Semester
Gerimis masih rintang mencumbui sore yang basah. Kerikil putih hitam riuh dalam permandian ujung hari yang ritmis. Itik ekor peniti menggiring anak-anaknya mandi. Menyeka tubuh-tubuh putih kecil itu dengan paruh kasihnya. Harum bunga tanjung menebar wangi. Buah kuning merahnya ranum basah oleh gerimis. Mahkota lima petal anyelir, zigzag memancarkan terang. Sore yang menghanyutkan.
Senja masih larut dalam kidung-kidung yang dihadiahkan Elang khusus untuknya. Kidung yang kadang berelegi, mengalirkan sedih ke belantara hati yang ringkih. Terkadang meracuni jiwa dengan romansa cinta yang lembut menyeduh rindu. Buah tangan Elang yang ia tempatkan khusus di kamar hatinya. Tak ia biarkan ada yang lain di kamar jiwanya. Senja sungguh sedang jatuh cinta.
Bunga taman jiwanya menebarkan wewangi cinta yang kemayu. Imaginya melenggok eksotis diantara bebatuan sungai hati yang mengalirkan rasa. Diktum dadanya adalah debur fantasi yang mabuk tuak cinta. Binar mata kalbunya adalah matahari yang menebar selimut hangat atas raga jiwanya yang gigil.
Senja mendekap rasa itu sekuat hati. Tak mau ia lepas walau sesaat. Sedekap tangannya didada. Pertanda ia bahagia. Senyum sendirinya rekah. Menghadirkan rembulan di langit-langit kamar. Anak manusia yang diserimpung cinta, dunia begitu indahnya.
“Senja...kamu sedang apa Nak?” suara ayahnya lembut memanggil.
Terperanjat Senja. Tersentak ia dari lamunan indahnya. Gopoh ia bangun dari rebah, posisi yang sedari tadi ia pilih untuk menemani lamunnya.
“Ya...ayah, ni lagi dengerin lagu.”
“Oh...bisa ayah bicara sebentar Nak.”
“Iya...iya ayah”
Senja bergegas merapikan baju. Membuka pintu kamar dan segera menemui ayahnya di ruang keluarga yang lengang namun sepi. Mereka, Senja dan ayahnya tinggal berdua di rumah yang jelas terlalu besar untuk sekedar menampung laku mereka berdua. Hanya bi Enah asisten rumah tangga paling setia dan sesekali suami dan anaknya hadir menyemarakan rumah yang sehari-harinya adalah sunyi.
Tampak ayah tercintanya sedang duduk dengan biji tasbih ditangannya. Sejenak tatap Senja berada di titik fokus, sosok ayahnya. Sosok yang dulu begitu gagah dan tampan. Kini sosok itu tampak renta meski garis ketampanan tak lekang dari wajahnya. Sosok ayah yang begitu dicintai Senja. Sosok yang mengasuh, memelihara, memeluk, mendidik, melindungi Senja sendirian sejak Senja kelas 5 SD.
Ayah, sosok yang tak pernah henti mengalirkan cinta di sungai hati Senja yang kerontang. Sosok yang tak pernah letih berbagi. Sosok yang tak pernah bosan melindungi. Senja tak kuat menahan rasa. Ia pun duduk di samping ayahnya, rapat memeluk manja tubuh ringkih itu dengan penuh cinta. Tangan kanan ayahnya yang bertasbih segera saja mengelusi kepala Senja dengan cinta.
Bi Enah, menggelayutkan bulir haru di ujung pelupuk matanya. Pemandangan ayah dan anak yang mengharu biru perasaannya. Lamunannya melayang pada saat sosok kecil itu dulu merengek, memohon ibunya untuk tak pergi meninggalkan dirinya dan ayahnya.
“Mah...mamah mau kemana?”
“Mamah mau pergi Senja!” dengan nada tinggi.
“Pergi kemana Mah?”
“Ga tau...pokoknya mamah mau pergi. Percuma mamah disini cuma bikin sakit hati.”
Ayahnya terdiam di dinding belakang kursi tamu. Wajah tampannya mengguratkan rasa tak berdaya yang amat memelas. Sosok yang tak pernah marah itu sepertinya sudah sampai di titik pasrah. Pasrah dengan laku istrinya yang tak pernah puas dengan apa yang telah diberikannya.
“Tapi Mah kalo mama pergi, Senja sama siapa?”
“Ya sama ayahmu yang payah itu lah!” bentaknya kehilangan kendali.
Sang ayah hanya menunduk menahan rasa. Ia tahu, bila ia bersulang suara hanya akan menambah ricuh suasana.
“Mah...Senja sama ayah ikut Mah!” teriak Senja dengan ledakan tangis histerisnya.
“Nggak...pokoknya mamah mau pergi sendiri, sekarang juga. Kamu jagain tuh ayah kamu yang payah itu!” lagi, dia memancing emosi suaminya. Namun ayah Senja geming.
Dan, berlalulah sosok seorang ibu itu meninggalkan Senja anak perempuan satu-satunya. Pun ia meninggalkan sosok suaminya yang begitu penyabar dan selalu mengalah. Ia pergi tanpa meninggalkan remah cinta di rumah itu. Itulah saat terakhir Senja melihat sosok ibunya.
Lamunan bi Enah buyar saat suara lembut laki-laki itu hadir.
“Senja...boleh bapak bicara sebentar Nak?” pintanya halus. Sungguh pinta yang menghentak jiwa Senja. Betapa tidak, lelaki yang diamanahi tugas sebagai seorang ayah yang bisa saja “memaksa” dan bukan “meminta” itu justru hadir dengan kerendahan hati untuk meminta.
“Ya...Ayah..Ayah bicara aja, Senja pasti dengerin” masih dengan peluk manjanya. Sementara tangan bertasbih ayahnya masih mengelusi kepala Senja dengan kasih.
“Ini tentang Mario Nak..”
Derrr...! ada desir kering angin gurun di petala jiwa Senja.
“Kemarin ayah ngobrol sama Mario, katanya ia bakal segera melamar kamu Nak.”
Blar...! debum halilintar menghantam sisa asa Senja hingga hangus terbakar. Jiwanya berdebam. Lubuk jiwanya berontak. Ingin sekali ia bangkit dan membuncahkan isi hatinya.
Ayah...aku tak cinta Mario ayah. Cinta Senja hanya untuk Elang. Dialah lelaki pilihan Senja. Senja mohon ... jangan biarkan Mario melamar Senja. Ayah...ayah...! besok Senja akan minta Elang untuk melamar Senja. Ayah pasti suka, Elang itu lelaki baik, tampan, shaleh, kuat, seniman, pokoknya ayah bakal suka lah, percaya deh sama Senja.
Tapi semua itu hanya gumam dalam hati Senja. Begitu mata bertemu mata. Senja menemukan kepedihan mendalam di kedalaman mata ayahnya. Tak hanya itu, Senja juga menemukan samudera cinta yang tak pernah kering disitu. Ia tak sanggup untuk berkata tidak, meski sebenarnya ayahnya tak pernah memaksa. Tapi kecintaan dan kasih pada ayahnya membuat ia tak sanggup berkata-kata kecuali:
“Baik ayah, Senja manut aja sama ayah.”
“Hmm... kamu memang cinta ayah...”ujarnya haru. Segelayut air menggantung di pojok matanya, siap membuncah, tapi ia tahan.
“Nak...kamu punya hak untuk bahagia, ayah hanya urun saran. Ayah tak pernah mau memaksa.”
“Ya ayah...Senja tahu itu.”
“Syukurlah kalo kamu tahu itu.”
“Ayah, boleh Senja nanya sesuatu?”
“Tentu Nak, kamu mau nanya apa?”
“Ehm...ayah yakin, kalo Mario itu laki-laki terbaik untuk Senja?”
“Hmm...ayah bukan Tuhan Nak, ayah tak tahu. Ayah hanya menilai dari apa yang bisa ayah lihat dan dengar.”
“Ya...ayah...”
“Eh...jangan-jangan kamu tidak suka sama Mario?”
Ingin sekali Senja melompat dan berkata
Yaa Ayah...Senja tidak suka Mario! Senja hanya suka Elang. Senja hanya mau Elang yang jadi suami Senja. Percayalah ayah, Elang akan jadi menantu yang baik buat ayah. Dia akan menjaga, melindungi dan menyayangi kita!
Tapi, lagi-lagi, itu hanya dalam hati yang bergumam sendiri.
“Oh...bukan begitu ayah, mungkin Senja hanya perlu waktu. Tapi Senja suka kok sama Mario.”
“Syukurlah kalo begitu.”
Senja kembali runtuh di pelukan ayahnya. Air mata membasahi dada ayahnya. Air mata yang dikira air mata haru oleh ayahnya. Padahal itu adalah air mata pedih, air mata dilema yang tak mampu dinukil jadi kata-kata. Air mata Senja jatuh, di ujung senja.
*****