#Untuk urusan cinta biarkan mata hatimu yang bicara, untuk kebutuhanku biarkan mata uang mu yang bicara. (Cewek matre)
Hujan sejak pagi, tanah menggigil. Air langit, melepas rindu. Para katak tak jadi pulang, begadang sepanjang hari. Impun (ikan kecil) menari-nari. Riuh kesana kemari tanpa arti. Katarsis diri yang lama dicekam beringsang. Buyur (anak kodok) sesekali ikut membaur, mungkin mencoba mencari jati diri sendiri.
Pelepah palm, diujung jalan, jatuh, tak kuat menahan beban. Air langit telah merapuhkan tulang-tulang palm, rupanya. Angin tak meniup terlalu kencang hanya sesekali lebut berbagi gigil pada sesama. Kelopak merah kemboja mengatup rapat, sedih karena tak disinggahi kupu-kupu yang berlindung dibalik payung daun mangga. Bukan tak rindu, tapi kupu-kupu takut sayap ajaib mereka hilang taji.
Belibis dan burung gereja berkelebatan di antara pohon jambu dan albasia. Rupanya disana tempat berkumpul serangga yang dilanda euforia. Kenari dan anis kuning merapatkan tubuh di dahan jambu air, menyelimuti diri dengan sayap tipisnya. Tak ada suara yang melegenda, hanya diam yang jadi nyata.
Bumi, Elang dan Senja, dan Zeno turun dari mobil Jazz metalik milik Senja. Halaman rumah Bumi, tergenang air hujan yang tak kunjung henti menangisi bumi. Bumi dan senja berpayung, sementara Elang dan Zeno kuyup tanpa payungan.
“Assalaamu’alaikum Ma...” ujar Bumi ragu. Tak ada jawaban. Seperti lagu yang distel repeat, unjuk salam itu kembali hadir.
“Assalaamu’alaikum Ma...” pintu pun terbuka. Sosok renta yang pucat. Selendang oranye kumal, membelit, memahkotai kepalanya. Ia hadir dengan rangkaian batuk kering yang menyayat.
“Wa’alaikum salam...” suara sesak itu menyambut salam.
“Maa...” Bumi merangkul kaki emaknya dengan segumpal tangis yang membuncah.
“Bumi... kamu bebas Nak?”
“Iya Ma... Bumi bebas.”
“Alhamdulillah yaa Allah...terimakasih yaa Allah...”
“Emak tau Bumi di penjara?” tanya Bumi takut.
“Iya...waktu itu ada polisi yang mengabari kemari”
“Oh...”
Seperti tak perduli pada tiga orang yang tunduk haru menyaksikan drama kasih yang melumat habis keangkuhan diri. Elang, Senja dan Zeno menjadi sekawanan goat in flamed. Bedanya, Senja, kambing kering, Elang dan Zeno kambing kuyup.
Setelah menyadari kehadiran tiga orang pengantar Bumi, Emak mempersilahkan mereka masuk.
“Maaf Emak kelupaan, silahkan nak Elang, nak Senja, nak Ze...Ze...nol?”
“Zeno Mak! Zeno” meniru intonasi Elang.
“Maaf ya Nak... emak suka lupa, maklum sudah tua sampe lupa nama nak Zeno”
“Ah ga pa pa Mak, dia juga udah tua kok” sambar Elang yang disambut pukulan kiri Zeno ke lengan kanan Elang.
Setelah basa-basi dan dua tiga teguk air putih, bincang mereka berlanjut.
“Gini Mak, Bumi itu bebas bersyarat” Elang mencoba menjelaskan.
“Oh...” Emak manggut-manggut entah mengerti atau pusing.
“Iya Mak, Bumi bebas bersyarat Mak. Pokoknya Bumi ga mau lagi di penjara.”
“Iya Nak, amit-amit, jangan sampai terulang lagi ya.”
“Iya Mak, Bumi janji ga kan ngulang lagi, Bumi kapok Mak.”
“Syukur kalo gitu.”
“Ehm...Mak, sebenarnya kedatangan kami kemari membawa pesan dari Bapak polisi.” lanjut Elang.
“Hah...pesan dari polisi? Pesan apa Nak?”
Hampir saja Zeno ngacung dan menjawab pesen baso dua banyakin pedesnya. Untung kali ini ia masih cukup waras untuk tidak melakukan kejailan semacam itu.
“Iya Mak...Bumi harus mengikuti pembinaan di pesantren” ungkap Senja ikut urun rembug.