#Cinta itu buta! Dia misterius karena datang dari gua hantu namun terkadang lucu karena ditemani seekor monyet
Sore masih meraja, bias teriknya masih terasa. Dengan sisa-sisa kekuatannya, matahari bertengger di tenggara langit. Tak menggigit memang, tapi cukup menggelitik. Biasnya masih sesekali menyasar kulit penduduk kota yang manja.
Angin menyapa terik, menyeduhnya dengan air telaga, hingga terik jadi hangat. Manusia menikmati sore dengan senyum. Sonokembang (angsana), kuning, memozaik jalanan kota dengan pemandangan menakjubkan. Di seberangnya, deretan Flamboyan merah tak mau kalah tampilkan legenda auranya.
Caladi ungu memilih Sonokembang, sementara pipit benggala lebih memilih flamboyan untuk duduk menikmati sore dari ketinggian. Belibis rumah, terbang kesana kemari tak kebagian tempat untuk duduk-duduk.
Capung hijau tentara, terbang menjauhi sonokembang. Induknya menggiring anak-anak capung menjauh, khawatir anaknya dijadikan cemilan sore para Caladi ungu. Sementara capung merah menjauhi Flamboyan, karena mata pipit benggala tak henti meliriki tubuh merahnya yang aduhai.
Elang, sore itu, masih dengan maratonnya. Merayapi jalanan Bandung utara yang tak lampau riuh. Ujung jarak hampir digapainya. Dengus nafasnya bergema memenuhi langit Bandung utara yang gilang. Akhirnya sampailah ia di ujung jaraknya. Langkah lamat-lamat melambat. Lesat berubah perlahan jadi gontai. Beruntung, bulevar Ciumbuleuit, menyediakan banyak oksigen untuk Elang hirup sepuasnya.
Elang duduk-duduk di kursi tembok punclut yang asri, tepat di seberang sebuah cafe asri yang berdiri anggun di puncak Punclut yang melegenda. Ia menjauh dari kerumun para pedagang yang memenuhi kanan kiri jalanan punclut. Matanya segar menatap alam yang digelar Tuhan sore itu. Di kejauhan jejeran pegunungan Malabar berderet indah. Patuha dan Waringin tak kalah elok menampilkan auratnya. Merah putih fly over Pasopati di kejauhan tampak layaknya jembatan lego yang tersusun rapih.
Ketapang Jaha dan Gamelina (Jati putih) menemani kesendirian Elang. Matanya asyik mencumbui kuning akasia yang merona. Sesekali matanya melirik buttercup (alamanda) yang cerah membangunkan inspirasi. Kupu-kupu ekor layang, coklat, ungu, kuning bergantian mencumbui bunga dengan santun. Di seberang jalan, pieridae (kupu-kupu), putih merah kuning hinggap kontras di daun merah jambu azalea.
Jalanan sepi, sesekali Paraoh Cicada (sejenis tonggeret) menggesekan sayapnya, riuh mengintervensi sepi. Kini mereka tengah hening. Kabut putih meta merayapi hitam aspal Ciumbuleuit. Sungguh tak ada kata yang sepadan untuk melukiskan keindahan mistis kabut merayap.
Lamunan Elang merayap, mengikuti jemari kabut yang perlahan menebal. Lamunannya kemudian hinggap di sosok senja. Ah...alangkah indahnya menikmati senja punclut bersama kamu, Senja. Betapapun dia mencoba memungkiri, palung hatinya tak mampu berdusta untuk mengakui bahwa ia telah jatuh cinta. Laku anak manusia yang menurut Zeno, aneh. Mengapa manusia mau saja terjatuh dan sakit?. Hanya untuk mereguk sebentuk rasa yang bernama cinta.
Lamunannya buyar, saat sebuah Toyota New Alphard 3.5 Q hitam melintas di depan hidungnya. Mobil mewah itu lantas berbelok memasuki pekarangan cafe tempat merah jambu Azalea bertahta. Seorang laki-laki tampan dan gagah turun dari pintu kanan. Laki-laki berjas hitam itu berjalan memutar untuk kemudian membukakan pintu kiri. Dari pintu itu turunlah sesosok wanita. Sosok yang sedari tadi singgah cukup lama di lamunan Elang, Senja.
Gadis itu Senja. Bak permaisuri, ia diperlakukan teramat istimewa oleh si laki-laki tampan berjas hitam itu. Tubuh tegapnya rengkuh romantis mempersilahkan Senja melangkah di sampingnya. Tanpa memperdulikan Elang, yang mungkin memang tidak disadari keberadaannya oleh Senja, mereka berdua memasuki gerbang cafe asri itu. Entah apa yang mereka lakukan selanjutnya di dalam sana.
Keluh Elang tak mampu tersembunyikan. Mungkin benar kata Zeno. Mengapa manusia harus jatuh cinta, bila ia tahu bahwa jatuh itu menyakitkan bahkan melukai. Ah...tak tahulah...keluh Elang seraya melangkah mengikuti kabut yang beranjak pergi.
*****
Selepas Isya berjamaah di Al falah. Elang dan Zeno larut dalam santap malam yang membangkitakan selera. Jagung rebus, singkong rebus dan dua cangkir bandrek, buah tangan Ciumbuleuit jadi teman mereka melewati satu lagi malam Bandung yang sejuk.
“Perasaan dari tadi diem mulu Lang, kenape?” Zeno membuka percakapan.
“Kagak! gua asyik-asyik aja kok.” bantah Elang.
“Halah pake ngeles, gue perhatiin dari sepulang lu dari Punclut, tu muka ditekuk mulu.”
“Nggak...nggak ada ape-ape. Dah ah...tuh bandrek luh keburu dingin!”
“Ok lah kalau begono.”
Hening, buncah jagung rebus di mulut Zeno mampu membungkamnya meski hanya untuk sementara. Ritualnya dilanjut dengan seteguk bandrek panas.
“Alhamdulillah...Tuhan, terimakasih...ternyata bahagia itu bertempat tinggal di dalam sepotong jagung rebus dan seteguk bandrek” ujar Zeno memecah hening.
Elang geming. Singkong rebus ditangannya tak jua dilesakan ke mulutnya. Matanya menerawang jauh menembus langit-langit kamar, menggapai-gapai gemintang yang tersanjung.
“Halah...ngelamun maning...Son...Son...” goda Zeno.
Elang geming, ia asyik menikmati kepedihannya.
“Wei...kebakaran!!! kebakaran!!!” teriak Zeno kehilangan kendali. Teriakan yang mampu memecah geming Elang.
Mba Irah, putri bu Karni pemilik kost, terdengar gundah berteriak dari balik pintu.
“Mas Zeno...Mas... kebakaran Mas? tanyanya gugup ngos-ngosan.
“Oh maaf Mba, nggak kok, ini saya ngelindur...ketiduran..he..he..maaf ya”