#Satu-satunya antrian yang dijamin ga bakalan ada yang mau nyalib, adalah antrian kematian
Elang masih berpeluh basah, ketika handphone di tas sepedanya memanggil-manggil. Ia pun menepikan sepedanya, disandarkan pada batang Palm yang berdiri di pinggir Pasteur. Diraihnya hp jadul itu, rupanya ustadz Haidar.
Elang : “Assalaamu’alaikum ustadz”
Ustadz Haidar : “Wa’alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh, Lang...kamu
lagi dimana?”
Elang : “Oh...lagi sepedahan di Pasteur ni ustadz, emang kenapa ustadz?”
Ustadz Haidar : “Oh...kalo bisa kamu secepatnya kesini, ada berita penting”
Elang : “Ada berita apa Ustadz?”
Ustadz Haidar : Ah...nanti saja disini saya jelaskan, gimana kamu bisa kesini
secepatnya Lang?”
Elang : “Baik ustadz, saya segera kesana. Saya balik dulu, sekalian ngajak
Zeno sama Senja.”
Ustadz Haidar : “Ok , saya juga ini on the way, saya dari Bogor langsung ke
pesantren. Ok deh, saya tunggu ya. Assalaamu’alaikum”
Elang : “Wa’alaikum salam”
Lamunan Elang segera liar merayapi segala kemungkinan. Berita penting apa yang sementara ini masih dirahasiakan ustadz Haidar? Elang segera berkirim wa pada Zeno dan Senja. Dengan kecepatan penuh, Ia pun menggoes sepedanya menelusuri jalan kota yang ramai menuju arah rumah.
*****
“Lang, ada apa sih ini sebenarnya, kok perasaan gue ga enak ya?” tanya Zeno dari jok belakang mobil jazz perak Senja. Senja terdiam sedari tadi di jok samping Elang, rupanya ia merasakan perubahan sikap Elang padanya. Sementara Elang sendiri sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Gue juga ga tau No, ntar ajalah kita tanya sama ustadz!”
Tak seperti biasanya, Zeno segera bungkam. Ia seperti kehilangan tenaga dan gairah untuk mempertontonkan kegilaannya seperti biasa. Dua jam lebih perjalanan Bandung – Lembang. Jalanan macet tak bersedia berkompromi.