# Lihat traktor mondar-mandir, pengen gembok cap gurame
Lihat koruptor cengar-cengir pengen nabok rame-rame
. Sunyi bersembunyi dibalik punggung sepi. Bumi masih menangis. Kafilah rerintik masih menggerimiskan air mata. Jingga di ufuk masih saja semburatkan luka. Anak manusia larut dalam sedih. Elegi semesta masih saja bertemakan kematian. Hidup meredup. Hening menggelindingkan waktu dalam senyap. Semesta masih berduka, kala Bumi ditelan bumi.
Kematian adalah teka-teki tanpa jawab. Misteri hidup yang digambar Tuhan dengan presisi sempurna. Garis tangan yang tak terhapuskan. Manusia tanpa daya. Tanpa pensil kehidupan, barang sebiji, ditangan.
Memang manusia tak layak bersemat kehilangan, karena sejatinya ia tak pernah memiliki apapun. Karena kehilangan hanyalah untuk para pemilik. Namun menyeduh “kehilangan” dengan air mata, hingga jadi secangkir duka adalah keniscayaan manusiawi belaka. Yang dilarang Sang Nabi adalah menghadirkan ratapan. Karena ratapan adalah air mata syetan yang menyaru dalam rasa sedih.
Elang, Zeno dan Senja masih terserimpung duka atas kematian Bumi. Kematian Bumi yang tiba-tiba dan dengan cara yang tragis mencoretkan aneka rasa di kedalaman jiwa mereka yang rapuh. Gelak tawa yang biasa hadir kini bersembunyi dibalik sunyi.
Ketiganya, masih dalam sunyi, berjalan ke arah kuburan Bumi yang masih merah. Quran kecil di tangan mereka. Elang yang gontai, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Zeno dan Senja pun terhenti. Elang merentangkan kedua tangannya menghalangi Zeno dan Senja melangkah. Keduanya manut saja pada maunya Elang.
Ketiga pasang mata itu lantas tertuju pada sesosok gadis yang tengah bersimpuh di pusara Bumi. Kerudung hitam diselempangkannya diatas kepala sembarangan. Suara segukan sesekali terdengar keluar dari mulutnya.
“ Gladys!”, bisik Elang pada Zeno dan Senja. Keduanya mengangguk. Elang memberi isyarat pada Zeno untuk memutar langkah. Zeno faham, Elang pasti bermaksud mengepung Gladys agar tak lagi kabur. Setelah Zeno di posisi yang diinginkan Elang, Elang pun memberi isyarat untuk memulai penyergapan. Tiga jari Elang terangkat, mulutnya komat kamit
“Tiga... dua...sa ̶ “
“Kalian ga perlu nangkep aku, aku kesini mau menyerahkan diri!” Tiba-tiba Gladys hadir dengan suaranya yang serak namun lantang.
Terperanjat ketiganya, setelah mengetahui bahwa Gladys menyadari kehadiran mereka. Elang pun memberi isyarat untuk mendekat. Ia pun ikut duduk bersimpuh di sisi kanan Gladys. Elang percaya pada ketulusan Gladys. Ujung mata senja melirikan cemburu. Seperti pernyataan siap bersaing, Senja pun segera duduk bersimpuh di sisi kanan Elang. Sementara Zeno masih dengan keraguannya duduk bersimpuh di sebelah kiri Gladys.
“Assalaamu’alaikum.” Sapa Elang ramah.
“Wa’alaikum salam” jawab Gladys tanpa menolehkan pandang.
“Bener kamu mau nyerahin diri? selidik Elang.
“Iya Kang... aku mau nyerahin diri.”
“Kenapa?” Percakapan dua arah. Untuk sementara Zeno dan Senja jadi goat in flamed.
“Kang, aku tuh sayang banget sama Bumi. Dia itu satu-satunya sahabat aku. Aku ga punya siapa-siapa Kang, selain dia. Dia udah kaya adikku sendiri”
“Hmm...kalo kamu sayang sama dia, kenapa kamu jerumuskan dia?”
“Terpaksa Kang...terpaksa. Aku ingin menolong dia, tapi aku ...ga punya pilihan.”
“Maksud kamu?”
“Bumi butuh uang untuk kesembuhan ibunya, aku ingin membantu tapi cuma jadi pengedar sabu yang aku bisa lakuin buat nolongin dia.”
“Jadi kamu ajak Bumi buat jadi pengedar?”
“Ya Kang, karena cuma itu yang bisa aku lakukan buat bantu dia.”
“Hmm...”
“Sekarang aku menyesal telah menjerumuskan dia!”
“Oh....”
“Ya...Kang aku nyesel banget. Aku ga nyangka kalo mereka bisa bertindak sekeji ini.”
“Oh...jadi kamu nyesel?”
“Nyesel Kang...nyesel banget, kalo aja aku tahu bakal gini jadinya, aku ga bakal jerumusin Bumi buat jadi pengedar.”
Segruk tangis Gladys menginterupsi kata yang keluar dari mulutnya. Elang merasakan ketulusan dari pengakuan Gladys. Ia pun membiarkan Gladys menumpahkan isi hatinya. Ia hanya berkomentar pendek, seraya memberi kesempatan yang luas pada Gladys.
“Sekarang aku mau nyerahin diri, tolong bawa aku ke polisi Kang!”
“Maksud kamu?”
“Aku mau menebus kesalahan-kesalahan aku Kang. Aku bakal lebih seneng dipenjara daripada dihantui rasa bersalah yang terus memburu hidup aku.”
“Hmm...”
“Aku ga bakalan lari lagi Kang, sekarang aku pasrah.”