Senja Yang Tak Tersentuh

kieva aulian
Chapter #17

17. Si Ujang

#Mata apa yang ga pernah ngedip? Mata...matain kamu. (Ujang gombal)

           Tak ada yang mencurigakan dari gerak geriknya. Layaknya “pak Ogah” di perempatan jalan kota, ia lihai memainkan peran. Mengatur lalu lintas kendaraan sambil berharap rupiah sebagai balas jasanya. Menurut Gladys, belum lama ia beroperasi di sana, sekitar 6 bulan.

Ujang, perawakannya kurus kering, kulit hitam matahari, rambut gimbal tanpa arah tapi tipis. Asli Bandung lengkap dengan bahasa, sapaan dan intonasi serba Sunda. Teriakannya lengking, memecah langit. Satu hal yang menonjol dari sosoknya adalah candaannya, nyaris tak ada kata yang keluar dari mulutnya selain canda dan canda. Masih menurut Gladys, ia dijuluki Raja Bodor oleh kawan-kawannya termasuk tukang ojek pangkalan di sekitar perempatan.

Dari tempat fotocopy mas Suryana, Elang dan Zeno asyik memperhatikan gerak –geriknya siang itu. Sudah dua jam, dari jam 10 keduanya bergantian mengamati gerak-gerik Ujang. Sekarang giliran Elang, setelah lebih dulu ia shalat Dzuhur di masjid kecil dalam gang. 

Tak ada yang mencurigakan, sampai suatu saat Ujang beranjak dari “kantor”nya. Elang bersiap mengikutinya sebelum ingatannya jatuh pada Zeno yang baru saja beranjak ke dalam gang untuk shalat.

Aduh, gimana ini?, apa si Zeno ditinggal aja ya? Ya lah...daripada kehilangan si Ujang, gundam Elang dalam hati, sambil beranjak mengikuti langkah si Ujang.

“Wei...mo kemana? Maen pergi-pergi aja lu!” umpat Zeno yang tiba-tiba muncul dan menahan lengan Elang.

“Ih...kok lu dah disini lagi? Bukannya lu lagi shalat?”

“Ye... udahlah aku dah kelar shalat, makanya hamba berada disini.”

“Widih...shalat dengan kecepatan super jumbo jet dong?” ledek Elang.

“Masalahnya gue dah terlatih sejak kecil Lang, jadi dah mahir soal shalat mah.”

“Ya ga gitu juga No, shalat tuh yang bener, yang khusyu jangan buru-buru! kaya emak-emak kegosongan bala-bala aja lu.”

“Baiklah ustadz Elang, sekarang mau kemana kita?”

“Tuh si Ujang dah bergerak, kita ikutin, siapa tahu kita dapat sesuatu yang penting.”

“Oh ok, Mr. Holmes[1], beta, Jhon Watson[2] siap membantu.”

Bak Sherlock Holmes dan asistennya Watson, kedua anak muda itu mengikuti langkah Ujang dengan menerapkan physical distancing[3] agar tak menimbulkan kecurigaan.

Lagi, tak ada yang mencurigakan. Ujang hanya sebentar singgah di cilok Mang Abun yang mangkal tak jauh dari “kantor” nya. Ia tak kelihatan membeli, mungkin minta. Selepas dari mang Abun, Ujang meneruskan langkahnya. Kali ini langkahnya bertambah cepat dari sebelumnya. Kecepatan yang membuat Zeno terseok-seok.

“Waduh tuh orang jalannya cepet bener!”

“Iya ... ayo jangan sampai kehilangan dia!”

Lihat selengkapnya