#Bagai makan buah simalakama. Buah fiksi, dimakan ayah tak mati, dibuang ibu tak mati. Alhamdulilah semua baik-baik saja.
Perubahan jadwal karantina, membuat Elang tak sempat membahas rencana lanjutan aksinya dengan Zeno. Pagi-pagi sekali Elang harus berangkat ke Jakarta, dikarantina di mess baret merah. Dari manajer Ekspedisi, didapat informasi bahwa Jadwal ekspedisi dipercepat karena alasan yang kurang jelas. Masa Karantina pun dipecepat, dari rencana semula satu bulan jadi satu minggu saja. Selepas masa karantina satu minggu, Elang dan Sigit, dua peserta terpilih akan segera terbang ke Tanzania, bergabung dengan para peserta dari negara lain.
Jadwal karantina dipercepat. Elang memasuki masa isolasi. Handphone segera “dirampas”, Elang memasuki masa persiapan terberat sebelum ekspedisi Kilimanjaro yang adalah juga mimpi terbesarnya.
Karena keputusan yang sangat mendadak membuat Elang tak sempat berpamitan pada Ibu dan adiknya, Nepala Putri Kania, juga pada Senja. Ia hanya sempat bertitip pesan pada Zeno, agar menyampaikan pamitnya pada ketiga perempuan istimewanya itu.
Untuk sementara, persoalan Mario, Richard, Senja dan bumi tersisihkan. Elang mencoba fokus pada persiapan ekspedisi.
*****
Pagi di hari yang sama. Belingsat Zeno memacu sepeda motornya, Si Jango. Kampus adalah tujuan dadakannya pagi itu, Senja mungkin telah lama menunggu. Jarum indikator bensin sudah merah, merapat ke E. Dilema Zeno, terserimpung Senja dan bensin.
Si Jango benar-benar kehabisan nafas, tetes terakhir bensin di perutnya menguap sudah. Mesin berhenti tak mampu lagi untuk dipacu. Keluh panjang Zeno, meratapi nasibnya. Matanya menjelajah sekeliling jalan. Tak ada SPBU, tak ada POM mini, pun tak ada penjaja bensin botolan.
Ia pun menyeret si jango yang kelelahan. Empat puluh langkah sudah, Zeno ngos-ngosan. Di kejauhan nampak rak kayu berdiri di pinggir jalan. Ah...rupanya itu tukang bensin botolan, gumam Zeno.
Seringai wajahnya, tanda harapan kembali nyala. Namun sekejap bulu kuduknya menyeriak, saat teringat sedari tadi saku belakang celananya serasa kempes. Dirabanya saku belakangnya dan didapati si dombret, dompet kesayangannya tertinggal di kostan. Disesalinya keterburuannya. Riuh Zeno merabai saku baju dan celananya, tak ditemui secuil uang pun disana. Putus asa menyergap. Ternyata ia sungguh miskin papa.
Terbayang, dirinya harus mendorong si Jango sampai kampus, sementara disana, Senja telah lama menanti. Sialan! Kutuk Zeno dalam hati. Belum tiga langkah, sebuah suara yang sudah sangat dia hafal datang menghampiri.
“Siap Kak, mogok?” Devi rupanya.
“Eh...Devi...iya mogok nih si jango kehabisan bensin.”
“Siap Kak, Itu di depan ada tukang bensin!”
“Iya tapi kakak gak...eh...”
“Siap Kak, Devi siap dorong!”
“Oh...ok deh...tapi...”
Tapi Devi sigap turun tangan, dia mendorong si jango dari belakang dengan semangat 45. Zeno tak punya pilihan selain mengikuti dorongan Devi. Sampailah mereka di tukang bensin botolan.
Satu botol cairan hijau ia gelegakan ke perut si Jango yang kehausan. Selepas sarapan, si Jango tersenyum. Dengan gagah perkasa ia pun siap kembali membawa tuannya ke parkiran kampus menemui Senja.
“Sepuluh ribu Mas!” pinta si tukang bensin botolan.
Zeno gelagapan. Lelaki tak tahu malu namun baik hati itu kini diserimpung malu.
“Siap Kak, sepuluh ribu katanya” Devi menegaskan rasa malu Zeno.
Zeno bergumam sayembara di hatinya. Siapa saja yang bisa menolongnya keluar dari masalah ini , bila laki-laki akan jadi temannya dan bila perempuan akan dijadikan pacarnya. Zeno kembali gelagapan, ternyata ia masih punya rasa malu untuk minta pada Devi.
Rupanya Devi mendengar sayembara sunyi Zeno.
“Siap...nih Bang sepuluh rebu” ujar Devi seraya merogoh dan menyerahkan selembar uang sepuluh rebu pada tukang bensin botolan itu.
Melihat itu, kegilaan Zeno terlahir kembali.
“Iya Bang....biasa dia kan bendahara, semua duit saya dia yang pegang.” Seru Zeno pada tukang bensin botolan yang cuma cengar-cengir.
“Siap Kak...bukan bendahara tapi adik angkatan Malika.” Seru Devi polos.
“Siap Kak...bendahara nih ye...” goda si tukang bensin botolan iseng sambil matanya melirik Zeno yang kemerahan.
Si jango pun dengan senang hati mengantar dua sejoli itu ke parkiran kampus. Zeno membonceng Devi, cewek yang dulu sempat dia teriaki kuntilanak! Di hutan Kareumbi dulu. Membonceng Devi adalah peristiwa magis yang bila dilihat Elang pasti ia akan terbang kelojotan membuncahkan tawa.
Sampailah dua sejoli itu di parkiran kampus.
“Kok lama banget sih No?” keluh Senja.
“Sorry...sorry...tadi nunggu si Jango sarapan dulu.”
“Si Jango?”
“Tuh...!”, lirik Zeno pada si Jango yang asyik mejeng, suat suit kala setiap motor betina masuk parkiran. Percis tuannya, tak tahu malu.
“Oh...” angguk Senja.
“Eh...ini kenalin Devi”