#LDR : Lama-lama bosen, terus Dicuekin dan kemudian Resmi diputusin
Kilimanjaro, kilima, gunung; njaro, bercahaya. Bahasa Swali menyematkan nama indah pada gunung tertinggi di Afrika itu. Puncak Uhuru 5.895 m, menjadi destinasi team pada ekspedisi kali ini. Puncak tertinggi Afrika dengan rute Umbwe sebagai pilihan, karena dinilai rute paling menantang.
Ken dan Naoki dari Jepang. Leon dan Fisnik dari Swiss, dan dua wanita Belanda Dael dan Kathelijn. Mereka adalah teman Elang dan Sigit dalam Kilimanjaro Unity Expedition.
Hari 1 Ekspedisi
Gerbang Machame, Team Kilimanjaro Unity memasuki Taman Nasional Kilimanjaro. Setelah menyelesaikan registrasi, ekspedisi pun dimulai. Tujuan team adalah Umbwe Camp, tempat team akan bermalam nanti.
Team yang di hari pertama dipimpin oleh Leon, berjalan perlahan membelah hutan hujan gunung yang hangat dan lembab. Jalan berkelok-kelok eksotik. Tak berapa lama jalanan menyempit lantas mendaki. Nafas anggota team mulai menggema. Punggungan lereng antara sungai Lonzo dan Umbwe rupanya mampu menarik-narik nafas mereka hingga tersengal.
Beberapa batu gunung besar seperti menggantung, tampak perkasa di ketinggian 2.940 m. Dengan semangat dan kekompakan team yang terjaga, perjalanan membelah hutan sejauh 11 km usai dilahap dalam waktu 6 jam. Team pun tiba di Umbwe Camp, pos pertama, dengan selamat dan tepat waktu.
Team pun bermalam di Umbwe Camp, ditemani pohon-pohon raksasa. Pohon gunung hujan yang ramah menemani anggota team yang berselonjoran keletihan.
*****
Hari ke-2 Ekspedisi
Keesokan harinya team kembali meneruskan perjalanan. Kali ini rute yang ditempuh adalah dari Umbwe Camp ke Barranco Camp. Kali ini Ken yang memimpin perjalanan.
Jalan berbatu menghadang. Ken memerintahkan anggota team untuk lebih berhati-hati. Langkah pun mesti bermata. Semua melangkah dengan penuh semangat, menjejak diantara bebetuan keras yang siap melukai.
Setelah menempuh jalan berbatu, mereka pun tiba di hutan Senecio yang legendaris. Hutan tempat Ragwort pujaan para pendaki nampak jelas terlihat. Setelah sejenak menikmati hampara ragwort yang seperti deretan monster berduri, merekapun melanjutkan perjalanan menuju Barranco Camp.
Setelah 5 jam perjalanan akhirnya mereka pun sampai. Kali ini tak semulus hari pertama. Ken yang memimpin perjalanan hari kedua mengalami luka sobek pada kakinya. Rupanya dia salah melangkah di jalanan berbatu tadi. Sepatu dan celananya robek. Punggung kaki kanannya robek berdarah. Setelah mendapat perawatan dari Dael, ia pun pulih dan kembali bersemangat. Kerjasama team dan kekompakan team memang syarat wajib bagi berhasilnya ekspedisi, dan itu dibuktikan mereka paling tidak sampai hari ke dua.
Malam menelan senja Kilimanjaro. Rembulan sejenak tampak. Bulat kuning, kontras . Anggun di puncak Kilimanjaro. Semua mata asyik menyantap hidangan alam itu dengan rakus. Elang bermenung. Lamunannya hinggap di wajah Zeno. Wajah sahabat sejatinya. Seulas senyum diikuti kekeh yang coba ditahannya untuk tak hadir di keheningan Kilimanjaro. Kekeh yang datang saat ingatannya jatuh pada sebuah peristiwa kocak beberapa bulan lalu.
“Hallo Ni...tumben pake nelpon segala?”
“Ya...hawlow Kak” Sengau Zeni yang menelpon sambil mengejar angkot yang keburu pergi.
“Haduh kamu yang tenang dong Zen, jangan sambil ngos-ngosan gitu!” pinta Zeno yang mulai panik. Panik karena teringat kondisi mamahnya yang sedang sakit tifus. Dua hari lalu mamahnya harus masuk rumah sakit, mungkin karena kelelahan sehabis tugas sekalian travel tiga minggu ke Timor leste, Australia dan Selandia Baru.
“Ya kak...aku mawu..ngasih...kawba...” masih ngos-ngosan.
“Ya kabar apa?”
“Kak...mamah sudah meninga...udah dulu yah, awku...tawkut ketingalan nih”
Plek...! telpon ditutup.
Zeno tertegun, berdiri membatu. Elang yang sedari tadi nguping, kebingungan. Ia tak tahu apa yang sedang menimpa sahabat sejatinya itu.
“No...kenapa No?” tanya Elang.
Zeno membatu, mulutnya terkatup rapat. Matanya pejam. Alis matanya mengguratkan gundah. Dahinya bergaris-garis, kerutkan cemas.
“No...ada apa No? lagi tanya Elang. Kali ini dengan mengguncang-guncang tubuh Zeno.
“Innaalillaahi wa inna ilaihi raajiun... nyokap gue meninggal Lang.”
“Innalillaahi wa inna ilaihi raajiun, beneran No?’
“Iye...barusan Zeni nelpon.”
“Ya udah ayo kita pulang ke Jakarta, gue anter.”
Tubuh Zeno masih membatu, mungkin shock.
“Ayo No...nunggu apa lagi kamu?, ayo!”
Dua tubuh itupun melesat. Jadwal kuliah yang masih antri menunggu, diabaikan keduanya. Mobil Mas Kamto , tetangga sebelah kostan yang baik hati jadi pilihan mereka menemui jenazah almarhumah mamahnya Zeno.
Tak seujung kuku kata pun yang keluar dari mulutnya. Air mata tampak deras membasahi mata dan pipi Zeno. Elang tak berani mengganggu. Ia fokus pada stir mobilnya. Setelah tersendat menjelang KM 14, gerbang tol Bekasi Barat, akhirnya sampailah mereka di Palmerah, kediaman almarhumah mamahnya Zeno.
Rumah itu sepi, jauh dari perkiraan Zeno dan Elang yang membayangkan para tetangga sudah berkumpul di rumah duka. Aneh pikir mereka.
“No...ko sepi sih?”
“Ga tau nih, gue juga ga ngerti.”
“Kirain orang-orang dah pada ngumpul, ini kok sepi ya.?”
“Tau nih...gue juga bingung.”
Ragu Zeno melangkah menuju bel pintu.
“Teettt!” masih sepi.
“Teett!” untuk kedua kalinya. Langkah pelan terdengar mendekati pintu. Entah kenapa hati Zeno beriak. Ia merasakan kengerian. Sungguh ia tak kan sanggup menerima kenyataan bahwa mamah yang sangat dicintainya meninggal. Dan pintu pun terbuka. Papah rupanya.
“Eh kamu No...kamu juga Lang?” sapanya ramah sekaligus kaget.
“Eh iya om...Assalaamu’alaikum” ujar Elang kelupaan.
“Eh iya wa’alaikum salam.” Kamu kok ga salam No.!” balas papahnya.
“Iya pah maaf, Assalaamu’alaikum” ujar Zeno lemah.
“Wa’alaikum salam, ayo masuk...ada apa ini kalian pake acara ngedadak gak bilang-bilang mau ke Jakarta?” tanyanya lempeng. Keduanya masuk setelah sebelumnya mencium tangan papahnya Zeno.
“Mamah pah..., mamah?” sedu Zeno.
“Oh mamah...ada...tuh!” jawabnya sambil menunjuk mamahnya Zeno yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.
Blass!!! Ada rasa aneh menyerimpung Zeno. Bulu kuduknya berdiri. Antara takut dan senang. Matanya melotot menatap sosok yang sangat dicintainya tapi sekaligus kini ditakutinya. Pun Elang, mulutnya menganga tanda takjub yang tak terkira. Pikiran Elang melayang, Mungkinkah ini mu’jizat Allah? gumamnya dalam hati.
“Hei kalian kenapa,? tak sopan kalian ini. Bukannya salam cium tangan, ini malah pada melongo!” ketus mamahnya Zeno bingung.
Elang yang lebih dulu menguasai keadaan, beranjak mendekati