#Hal paling mengharukan saat tahlilan adalah saat tak ada nasi kotak yang bisa dibawa pulang
Hari ke-3 ekspedisi
Hari yang sangat menentukan. Hari dimana tim akan berupaya menaklukan Barranco Wall yang mahsyur. Dinding tebing tinggi hampir 4.000 m, berdiri angkuh menantang untuk ditaklukan. Hari itu Elang yang jadi leader.
Dipimpin Elang, pendakian yang menurut beberapa pendaki pendahulu adalah dinding tebing yang sangat mengintimidasi mental itu, perlahan dijejaki tim dengan ekstra hati-hati. Elang memimpin dengan baik, ia sukses mengarahkan tim pada pijakan-pijakan aman hingga sampai di puncak Barranco Wall.
Tebing menantang dengan dinding batu hitam itu begitu anggun mencekam. Hembusan angin dingin Kilimanjaro menambah erotis dinding Barranco. Langkah demi langkah dipijak team dengan teramat hati-hati. Sebab, sedikit saja salah, maka nyawa taruhannya. Sesekali tangan mereka harus mencari pegangan batu hitam agar tak terpeleset yang bisa fatal mencelakai mereka. Elang akan menghentikan laju team, manakala didapati ada anggota yang tercecer. Bila ia sudah kembali ke lingkar team, barulah Elang akan melanjutkan pendakian, setelah sebelumnya menawarkan rehat.
Butir salju tertiup deras angin Kilimanjaro hinggap di wajah-wajah letih namun bergairah itu. Dinginnya bukan lagi gigil tapi gigit. Jaket-jaket tebal yang mereka kenakan, tak lebih dari sehelai tisue menghadapi keganasan dingin Kilimanjaro.
Akhirnya dinding Barranco yang melegenda itu berhasil juga ditundukan. Decak kagum Elang tak tertahankan sesaat setelah menjejakan kaki di puncak tebing Barranco. Ia merasa berdiri di atas awan. Hamparan es di sisi selatan Kilimanjaro putih putih dingin menggoda. Kembali ingatannya tersangkut di sosok Senja. Ah... Senja...andai kau ada disini.
Perjalanan berlanjut hingga akhirnya mereka sampai di Karanga Camp. Camp tempat mereka kembali bermalam.
Lagi, malam Karanga dihiasi Elang dengan lamunan. Seperti kemarin, ia kembali senyum-senyum kecil. Lamunannya hinggap di sebuah peristiwa kocak.
Ulangan akhir semester, mata kuliah Psikometri, Dosen killer, pak Herman.
“Perhatikan baik-baik, Ujian dimulai lima menit lagi. Kerjakan semua soal dengan baik, harap semua tenang! Jangan ada yang nyontek! Kalo ketauan nyontek langsung saya coret! “ Teriak pak Herman galak. Tampangnya bener-bener mirip Hitler, kurus,suara menggelegar dan tentu saja kumis episentrum.
“Semua hp silent! Saya tidak mau selama ujian ada tat...tit...tut...suara hp. Kita sepakat ya, kalo ada yang ketauan hp bunyi, kita buang! Setuju?”
“Setuju...”: seru mahasiswa menggigil ketakutan melihat kumis episentrum Herman Hitler
Widih demagog Nazi sedang beraksi, gumam Elang.
“Nah sekarang tolong semua hp disilent, dan kumpulkan di depan!”
Keluh kesah para mahasiswa yang kehilangan kesempatan nanya sama mbah google tak dihiraukan pak Herman. Semua mahasiswa bergerak mengumpulkan hp masing-masing.
“Perhatian, nih biar fair, hp saya juga saya silent nih!” Serunya sambil mengangkat hp hitamnya dan kemudian menaruhnya bersama hp milik para mahasiswa.
Semua mahasiswa sudah mengumpulkan hpnya, kecuali Zeno. Dia masih saja asyik dengan hpnya.
“Weiy kamu...mau saya coret ya? Atau hp kamu mau saya buang?” Bentaknya pada Zeno yang masih saja asyik dengan chatingnya.
“Oh...maaf-maaf Pak” pinta Zeno, seraya mematikan hpnya dan segera menyerahkannya ke meja depan. Agak lama ia berdiri di depan entah apa yang dilakukannya.
“Ok...waktu untuk mengerjakan soal ujian sudah dimulai, silahkan!” teriaknya masih galak.
Hening, suasana kelas diselimuti sunyi. Mata Hitler yang liar mencari mangsa memaksa para mahasiswa nakal tak berkutik. Ada yang mengkerutkan dahi. Ada yang nunduk ga jelas. Ada yang ketiduran.
Herman Hitler tersenyum bangga. Dia merasa apa yang telah dilakukannya berhasil. Dia merasa dirinya begitu disegani dan ditakuti mahasiswa, sesuatu yang tak pernah ia dapatkan di rumah.
Hening diatas hening. Semua nafas menahan bunyi. Ancaman “coret” dan “buang” dari Herman Hitler terbukti efektif meredam keriuhan yang biasa mewarnai ujian-ujian di kelas.
Zeno terlihat tenang, bibirnya senyam senyum sendiri entah kenapa. Tak lama kemudian sebuah suara menggema. “Jaran goyang” menggema dalam kelas. Semua mata dan telinga sibuk mencari sumber suara.
“Hah... ketauan sekarang, hp siapa itu?” bentak Herman Hitler yang saat “jaran goyang” tampil, ia sedang berkeliling di belakang mahasiswa.
Tak ada yang berani menjawab.
“Sudah saya bilang hp di silent masih aja...hadeuh kalian ini. Sorry ya...sesuai kesepakatan, hp nya akan saya buang!”
Kembali semua terdiam. Masing-masing jiwa sedang menerka-nerka. Nada dering “jaran goyang”sedang nge hits kala itu. Banyak mahasiswa yang menggunakannya.
Herman Hitler berjalan ke muka. Menghampiri lautan hp diatas meja. Diamatinya satu per satu, seraya mencari dari mana “jaran goyang” muncul. Tapi karena saking banyaknya hp yang menggeletak ia kesulitan menemukannya. Sesaat kemudian wajahnya memerah, sementara semua mata menuju ke arahnya.
Herman Hitler gelagapan, keringat dingin membasahi kemeja coklatnya, bahkan dasinya meneteskan peluh. Lutut dan tangannya gemetar.
“Hp siapa pak?” suara Zeno tiba-tiba mengejutkan semua penghuni kelas.
“Ya...euh...saya gak tau...” jawab Herman Hitler bohong.