Aga's POV
Aku melangkahkan kakiku meninggalkan gadis itu. Dari kejauhan aku sempat melihatnya mencibir sendirian. Entah cibiran apa yang ia lontarkan dan entah ditujukan untuk siapa. Senyum itu mengembang di bibirku tanpa kusadari. Apakah aku tersenyum karna melihat tingkah gadis itu? Ah sudahlah, sekarang bukan waktunya memikirkan gadis yang bernama Senja itu. Tapi aku merasa ada yang aneh dengannya. Saat pertama kali berbicara denganku ia terlihat sangat antusias, wajahnya tampak cerah dan berbinar. Namun saat berada pada detik dimana aku mengatakan bahwa aku lupa kejadian yang ia maksud, garis wajahnya berubah seperti ada penyesalan disana. Wajah cerah dan berbinar nya itu juga ikut berkurang. Apa ada yang salah dengan perkataan ku? Aku memang sedikit lupa tentang kejadian itu, yang aku ingat hanyalah ketika ia menyebutkan namanya yang diselingi dengan senyumannya. Aku tersenyum untuk yang kedua kalinya dan kali ini aku benar-benar sadar kalau aku harus segera masuk ke kelas.
***
Senja's POV
Pukul 14.00, aku meninggalkan kelas saat mata kuliah selesai. Hari ini aku merasa sangat lelah. Tubuhku lemas. Aku merasa kurang enak badan tiba-tiba. Karna tak sanggup berjalan, aku duduk di bangku koridor kampus. Aku menyeka keringat dingin yang mengalir di jidatku. Menghembus napas perlahan. Sekarang mataku benar-benar pedih dan panas. Ketika itu, dari kejauhan sana aku melihat Bian yang berlari hendak menghampiri ku.
"Senja, lo kenapa? Muka lo pucat banget" kata Bian tampak panik setelah ia duduk di sampingku. Bian memegang jidatku, memastikan apa yang terjadi.
"Ya ampun lo demam, badan lo panas" kali ini raut wajahnya benar-benar panik.
"Gue gak papa kok, Bi" Aku menenangkan Bian agar ia tidak terlalu panik.
"Gak papa gimana sih? Muka lo pucat gini. Yauda gue pesen taksi online dulu, kita balik ke apartemen sekarang"
"Lo kan baru dateng, masa lo mau balik lagi?"
"Udah deh, lo tenang aja, gue ntar bisa ke kampus lagi setelah nganterin lo balik"
"Gue bisa sendiri,Bi. Lo pesenin taksi aja nanti biar gue balik sendiri"
"Gak usah ngeyel deh, ja" tegas Bian.
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Bian memang sangat perhatian padaku walau ia selalu menutupinya. Tapi tetap saja, sikapnya itu sangat terlihat. Aku memperhatikan Bian yang berkutat dengan ponsel nya, memesan taksi online.
"Taksinya udah gue pesen, kita tunggu di depan. Sini gue bantu" Bian mencoba memapahku, aku menolaknya "Bian, gue bisa"
Akhirnya Bian mendengarkan ku kali ini, dia membiarkanku berjalan sendirian tanpa harus dengan bantuannya.
Kini aku dan Bian berjalan di koridor apartemen. Aku membiarkan Bian yang sedang membuka pintu apartemen hingga seseorang menyapa kami.