Senja

Ega Okti Mayang Sari
Chapter #11

Sebuah Permohonan

Apa menurut kalian cinta itu segalanya? Jika memang iya, coba jelaskan apa saja bagian dari segalanya itu? Apa kau akan mementingkan ego demi cinta? Jika harus memilih, apa yang kalian pilih, cinta atau keluarga? Cinta atau sahabat? Cinta atau karir? Mungkin kita semua memiliki jawaban yang berbeda beda, bukan?

***

Senja berteriak sekeras kerasnya memecah keramaian kota di bawah sana. Tampaknya, senja sore ini tengah bersahabat pula dengannya. Rintik hujan yang sedikit mengguyur bumi seolah mewakili suasana hatinya yang sedang kacau. Meskipun begitu, warna oranye yang dipancarkan tetap terlihat. Senja menatap lekat warna oranye di ujung barat sana. Ia tersenyum kecil, menurutnya warna oranye pada langit senja merupakan senyum sang Ibunda. Sebuah memori terlintas di otaknya, dimana saat ia dan sang Ibunda menatap warna langit pada saat senja. Hari itu jatuh pada tiga hari sebelum kepergian bundanya untuk selamanya. Satu perkataan yang Senja ingat sampai sekarang, yaitu 'kalau suatu saat nanti bunda gak bisa nemenin Senja lagi, Senja liat saja warna oranye pada saat senja. Bunda ada disana'.

isak tangisnya terdengar semakin keras hingga terdengar seperti erangan. Rasa benci itu tiba tiba memenuhi jiwanya, bibirnya bergetar. Ingin sekali Senja membalaskan dendamnya. Dendam yang seharusnya tidak pantas dilakukan. Bertahun tahun ia belajar menerima takdir dengan mengikhlaskan segalanya, namun itu bukanlah hal yang mudah. Hati yang tergores tetap saja meninggalkan luka yang terlihat kering diluar namun berdarah di dalam. Inikah sakit yang dinakaman luka tapi tak berdarah? Sungguh menyayat jiwa.

Bian. Wajah Bian tiba tiba tergambar di otaknya. Senja sangat menyayangi sahabatnya itu. Tapi di sisi lain ia seperti tidak benar benar menyayanginya. Bisakah kalian rasakan bagaimana rasanya ketika kalian melihat Ayah kalian kini menjadi Ayah dari sahabat kalian? kalian akan menganggapnya sahabat atau saudara tiri? Ya, saudara tiri. Senja juga ingin menganggap Bian sebagai saudara tirinya. Namun kenyataan tidak mengijinkannya. Ayahnya tidak mengijinkannya untuk mengakui hubungan antara mereka di depan keluarga barunya.

Tangisnya semakin keras, Senja tidak peduli jika ada yang mendengarnya, yang ia tau rooftop apartemen jarang ada yang mengunjungi. Senja bebas mengungkapkan segala rasa dan asanya disini. Senja menunduk, mengusap wajahnya kemudian terduduk. Ia tangkupkan wajahnya ke lututnya, menyembunyikan tangisnya di dalam sana.

Seorang pria mendekat ke arah Senja tanpa disadari Senja. Rupanya ia sudah cukup lama memperhatikan gadis itu di ujung pintu rooftop. Kini pria itu berdiri tepat di samping Senja, tak lama ia terduduk. Kemudian ia memberanikan diri untuk membawa Senja ke bahunya agar Senja mendapat tempat nyaman untuk bersandar. Awalnya ia pikir Senja akan terkejut dan memberontak. Tapi ternyata ia salah sangka, Senja justru mengikuti kemauannya. Senja masih menangis. Ia tak peduli siapa orang yang memberikan bahunya. Namun Senja tau bahwa itu Bisma, karna ialah yang tau kalau Senja menghabiskan waktu senjanya disini. Kini Senja merasa pria itu merangkulnya, mengusap lembut pundaknya untuk menenangkannya.

"Gak usah nyari kesempatan deh, Bis". kata Senja yang tak memalingkan wajahnya sedikitpun untuk melihat pria itu.

"Bis?"

Senja terkejut mendengar suara itu. Itu bukan suara milik Bisma. Ia kenal betul suara itu, namun sekeras apapun ia berpikir ia tetap tidak percaya bahwa tebakannya kali ini benar. Suara itu milik Aga. Apa mungkin yang sedari tadi berada di sampingnya, memberikan bahunya, merangkul dan menenangkannya adalah Aga? Apa ini hanya hayalannya saja? Senja mengangkat kepalanya dan perlahan melihat wajah pria itu. Aga, pria itu benar benar Aga. Bagaimana mungkin?

"A.. Aga!!" Senja gugup.

"Lo pikir gue siapa emang?" tanya Aga dengan sedikit nada bercanda.

"Gue pikir lo..lo bukan Aga" Senja mengerjap ngerjapkan matanya, sejujurnya ia masih tak percaya bahwa pria yang di hadapannya kini benar benar Aga.

"Hehe, mewek aja sih lo" tawa Aga mampu menenangkan Senja. Kali ini rasa gugupnya sudah sedikit hilang

"Oh ya, jadi tadi lo ngira gue siapa?" tanya Aga lagi.

"Ada temen gue yang tinggal di sebelah apartemen gue, dia sering kesini juga jadi gue pikir lo dia"

"Bisma??" Aga menebak seraya menatapku seperti tatapan mengintimidasi.

"Kok..lo tau sih?"

"Ya iyalah, dia kan sepupu gue"

Lihat selengkapnya