Akar dari segala kenangan adalah masa kecil. Itu yang membuat Bima betah berlama-lama di kampung halamannya. Setiap kali menjelang Lebaran, ia pasti mudik dan memanjakan diri dengan suasana masa kecil yang selalu ia rindukan. Namun, kali ini ia pulang dengan alasan berbeda.
"Adikmu akan menikah. Kau harus datang," ujar ibunya melalui vidcall.
"Menikah? Bukankah Savitri belum lulus SMA, Bu?" tanya Bima.
"Itu bisa diatur. Kalau jodoh sudah datang, sebaiknya pernikahan segera dilangsungkan."
"Emang calon suaminya orang mana?" tanya Bima lagi.
"Coba tebak," ujar ibunya tersenyum-senyum, "Kau kenal baik dengannya. Sangat kenal, malah. Di depan rumahnya ada pohon mangga besar, dan ada ayunannya. Kau pernah jatuh dari ayunan itu sampai dengkulmu luka."
"Dia akan menikah dengan Giri?"
"Betul. Keluarga Pak Cakra, orangtua Giri, datang melamar Savitri minggu lalu. Kami sepakat untuk menerimanya, dan merencanakan pernikahan mereka secepat mungkin."
Bima segera mengontak kakaknya, Arimbi, yang tinggal di Singapura. Seperti dugaannya, Arimbi tersengat ketika mendengar berita itu dari Ibu. Dia paling anti dengan tradisi pernikahan dini di kampungnya.
"Kamu pasti senang mendengar kabar ini, bukan?" tuduh Arimbi. "Karena Giri sahabatmu. Huh!"
Bima sebenarnya tidak sepenuhnya setuju dengan rencana pernikahan yang dianggapnya tergesa-gesa itu. Namun tidak bisa dipungkiri, hatinya memang senang ketika mengetahui bahwa calon suami adiknya adalah Giri, teman bermainnya sejak kecil.
"Mungkin yang ini lain, Kak. Siapa tahu jalan hidup Savitri sama dengan orangtua kita. Mereka juga menikah muda, dan sampai sekarang rukun-rukun saja. Aku yakin Giri bisa menjaga adik kita dan memperlakukannya dengan baik."