Di ruang makan, nampak Bapak masih duduk santai, sembari menikmati secangkir kopi panas. Sementara Ibu sibuk menghitung sesuatu pada buku catatannya. Bima menarik kursi, dan menghempaskan tubuhnya. Arimbi langsung ke kamarnya, setelah menaruh kotak perkakas di sudut dapur.
“Kenapa?” tanya Bapak, “Kau diomeli kakakmu lagi?”
“Nggak,” jawab Bima sembari menggeleng, “Tapi Kak Ari bilang, Bapak dan Ibu sudah mencarikan jodoh untukku. Apa benar?”
“Ya,” sahut Ibu. “Kalian sudah cukup berumur. Usiamu sudah 26 tahun, dan Arimbi 28 tahun. Kalian sudah jadi bahan omongan di kampung! Jika kau belum juga membawa calonmu kemari, artinya kami yang harus mencarikan jodoh untukmu.”
“Kalau Ari, katanya dia sudah punya calon,” ujar Bapak, sembari membetulkan posisi gagang kacamatanya dan meraih koran yang tergeletak di hadapannya. “Mudah-mudahan dia tidak mengecewakan kita.”
“Dia orang Jepang," ujar Bima.
“Oh ya?” Bapak mengangkat alisnya, tak menduga bakal mendengar kabar seperti itu.
Percakapan mereka terhenti oleh suara ketukan di pitu dapur. Tak lama kemudian, terdengar ucapan salam, dan sesosok perempuan muda masuk ke rumah. Dia Wahyuni, sepupu mereka yang dulu tinggal di rumah itu juga.
Wahyuni yatim piatu. Bapak dan Ibu ganti mengasuhnya sejak remaja. Setelah Wahyuni menikah, ia tinggal bersama keluarga suaminya di tanian sebelah.
“Baru pulang dari mengajar, Yun?” tanya Ibu, saat melihat Wahyuni masih mengenakan seragam guru.
Wahyuni menggeleng dengan sopan, seraya mengangsurkan buah pepaya dan sebutir kelapa yang dibawanya. “Sudah dari tadi, Bude. Tapi saya mampir dulu ke rumah mertua. Beliau titip hasil kebun untuk keluarga di sini.”
“Sekalian bawa kuenya, Yun. Barusan matang tuh, bolu batiknya,” ujar Ibu.
Wahyuni mencomot beberapa potong kue, lalu membungkusnya dengan selembar tisu makan yang juga tersedia di meja. “Saya bawa tiga ya, Bude. Ini kue kegemaran kang Dani.”
Begitu Wahyuni pergi, Ibu mendesah dan berkata, “Coba kalau kakakmu itu kayak si Yuni. Nurut, nggak macem-macem. Pasti kami tidak repot. Ari itu memang paling menyusahkan. Keras kepala, sukanya kelayapan...”
“Dia sekolah dan bekerja, bukan kelayapan,” bela Bapak.
“Tapi dia sudah terlalu berumur,” tukas ibunya. “Kita yang susah sekarang. Seharusnya dulu kau tidak mengijinkannya pergi ke luar negeri. Sekarang kau lihat sendiri, dia jadi terlalu sukses, seperti tidak butuh laki-laki. Mana ada laki-laki yang mau sama dia?”
“Kalau begitu, restui saja kak Ari dengan calonnya,” ujar Bima.
“Kamu sudah pernah bertemu dia? Siapa namanya?” tanya Bapak.
“Hideki. Orangnya baik, sih ....”
Perhatian mereka kembali teralihkan, ketika mendengar langkah kaki mendekat. Arimbi muncul kembali. Kali ini, dia sudah mandi dan mengenakan baju bersih. Setelan t-shirt warna putih berlengan panjang, dipadu dengan vest bermotif garis biru muda dan celana jins. Dia tampak segar dan menarik.
“Jiahh... mau kemana, Tuan Putri?” ledek Bima sambil bersiul. Arimbi tidak mengacuhkannya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Bapak.