Bima berdiri di tangga teras, sambil mengamati pohon-pohon mangga yang meneduhi halaman depan dan sebagian atap surau tua milik keluarganya.
Di kampungnya, setiap keluarga besar tinggal di lahan luas yang disebut tanian lanjeng. Sesepuh keluarga menempati rumah utama, berhadapan dengan surau dan bersebelahan dengan gerbang masuk pekarangan. Di sebelah rumah induk, berjajar rumah generasi berikutnya.
Bima melangkahkan kaki menuju surau, dan berjalan pelan mengelilinginya. Surau ini sarat kenangan. Beratus tahun lalu, leluhurnya datang dari daratan Madura, membabat hutan dan mendirikan rumah serta surau ini. Dulu, atapnya berupa anyaman daun kelapa kering. Sekarang, ataup itu sudah diganti dengan genteng. Namun demikian, dinding, lantai ubin, serta keseluruhan bangunan tersebut masih serupa seperti bentuk asalnya.
Mata Bima dengan awas menatap ke setiap juntai pohon yang sarat dengan buah mangga yang bergelantungan. Ketika ia melihat ada buah yang matang di pohon, ia segera mencari-cari kerikil untuk menyambitnya. Kerikil itu melesat dengan jitu dari tangannya, menebas tangkai kecil tempat mangga itu tergantung. Tak lama kemudian, mangga yang diincarnya jatuh. Dengan sigap, Bima melompat dan menangkapnya.
Tepat di saat itu, suara deru sepeda motor mengalihkan perhatiannya. Bima menoleh.
"Giri!" panggilnya dengan gembira.
Si penunggang sepeda motor itu menghentikan motornya dan membuka helmnya. Tampak seraut wajah dengan senyum cerah menyambut seruannya. Lelaki muda bertubuh tinggi dengan rambut berombak dan berkulit bersih itu melangkah ke arah Bima.
Tentu tidak sulit bagi Bima untuk mengenali sahabatnya. Lesung di pipi kiri lelaki itu adalah penanda yang jelas. Selebihnya, Bima dibuat takjub oleh perubahan besar yang dilihatnya pada Giri. Sahabatnya itu kini tampak lebih matang dan percaya diri. Entah kenapa ia tiba-tiba membayangkan Giri berada di samping Arimbi. Namun, cepat-cepat ia menghapus kelebatan pikiran itu. Ah, kenapa pikirannya jadi seperti ini? Bukankah sudah jelas, bahwa Giri calon suami adiknya? Ada-ada saja.
"Cuma satu yang matang?" tanya Giri, ketika melihat mangga di tangan Bima.
"Ada satu lagi yang sudah matang. Nih," ujar Bima sambil mengangsurkan batu.
Giri menyambit mangga yang ditunjukkan oleh Bima. Sebutir buah jatuh, dan ia menangkapnya dengan luwes.
Mereka berdua kemudian berjalan menuju teras dan duduk di tangga. Giri mengeluarkan pisau lipat dari balik sakunya dan mulai mengiris mangga. Setelah itu, dia mengangsurkan pisau lipatnya kepada Giri, dan mulai menggerogoti daging mangga matang di tangannya. Bima melakukan hal serupa, mengiris kemudian dengan lahap menikmati buah yang berdaging lunak serta manis itu. Air buah mangga yang berwarna jingga mengalir di mulut dan dagu mereka.
"Kalau ada Mbah Uti, pasti kita bakal diomeli. Makan kok seperti orang utan," ujar Giri. Bima hanya tertawa.
"Kapan kau kembali dari Australia?" tanya Bima.
"Lima bulan lalu."
"Hm, lumayan lama. Kapan mau balik ke sana lagi?"
"Tidak. Aku ingin tinggal di desa saja."
"Eh? Serius?"