Senjakala di Dukuh Merak

Artha Julie Nava
Chapter #5

Kesangsian

Eyang Sani kemudian berjalan menuju rumah induk, diikuti oleh Giri yang membawa dua keranjang bawaannya. Bima menyusul tak lama kemudian.

"Taruh saja di ruang makan."           

"Baik, Eyang."           

Bima memperhatikan neneknya yang berjalan menuju ruang tengah. Dia dan kedua saudaranya biasa memanggil nenek mereka dengan sebutan Eyang atau Yang Ti, menirukan kebiasaan dari keluarga ibunya yang berdarah Jawa. Akhirnya, sebutan Yang Ti lebih populer dibandingkan sebutan Nyi atau Mbah.

Diamatinya langkah kaki perempuan berusia 80 tahun itu. Langkah yang halus, tidak terburu-buru, tidak juga terlalu pelan, dan nyaris tanpa suara seperti langkah seekor kucing. Bayangan kaki neneknya memantul di ubin rumah yang berwarna gelap mengkilap. Selalu saja dia menangkap kesan bahwa kaki neneknya itu baru saja terbasuh air wudhu.

Seperti biasa, neneknya akan berhenti di depan lemari jati tua dan membukanya.

Di lemari itu tersimpan Alquran dan sejumlah kitab kuning. Yang Ti Sani punya kebiasaan menyempatkan diri membuka kitab-kitab itu dan membacanya setiap hari. Terkadang dia menulis sesuatu dengan huruf Arab di sebuah buku tulis sederhana.

Kebiasaan itu sebenarnya tidak lazim, karena umumnya perempuan seusia Yang Ti itu buta huruf, tidak bisa membaca apalagi menulis. Tetapi Yang Ti lain.

Perempuan renta itu menguasai betul aksara Arab dan Jawa Kuno. Kemahirannya memahami kitab kuning, jauh melampaui kemahiran saudara-saudara lelakinya. Dia juga menguasai baca tulis huruf Latin serta Matematika Dasar yang dia pelajari melalui anaknya. Semuanya cukup untuk membuktikan bahwa dia perempuan cerdas, walaupun tidak pernah menginjak bangku sekolah.           

Kharisma Yang Ti memancar kuat. Dia menjadi panutan utama di desa itu. Setiap orang yang punya hajat akan datang kepadanya untuk meminta restu, agar rencana mereka berjalan lancar. Banyak orang percaya bahwa neneknya memiliki kekuatan batin yang tinggi, dan restu darinya adalah stempel "resmi". Bahkan diam-diam, sejumlah orang dari luar kota pun datang kepadanya, terutama mereka yang hendak mengikuti pemilihan Kepala Daerah.

Yang Ti tahu betul cara memanfaatkan kepercayaan orang terhadap kekuatan spiritualnya. Ia menggunakan pengaruhnya untuk mendukung calon yang dianggapnya terbaik. Biasanya, jika orang-orang mendengar bahwa ada calon pemimpin daerah yang sudah diterima baik oleh Yang Ti, mereka akan memilih calon tersebut tanpa banyak bertanya.            

"Semua belanjaan Eyang sudah kutaruh ke tempat yang semestinya." Suara Giri yang datang dari arah dapur memecah perhatian Bima.            

"Terimakasih, Giri." Eyang tersenyum. Sebuah senyum yang maknanya sangat dipahami oleh Bima.            

Di saat itulah, Bima sadar, bahwa neneknya sudah merestui Giri. Mendadak hatinya jadi terganggu. Jangan-jangan memang benar yang dikatakan Arimbi, bahwa Giri hanya memanfaatkan pernikahan ini untuk mendapatkan restu dari Eyang.             

Ketika Giri menoleh dan melempar senyum kepadanya, Bima melangkah mendekat, "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”           

"Rahasia?"           

"Tentang adikku."           

"Oh, oke." Giri menatap Bima dengan pandangan menyelidik, namun dia tak menolak ketika Bima mengajaknya ke ruang tamu.            

"Aku hanya ingin memastikan satu hal. Kebahagiaan Savitri," ujar Bima ketika mereka berdua sudah duduk di ruang tamu rumah induk itu. "Aku tahu kau bisa dipercaya dan bertanggungjawab. Namun aku belum lega sebelum mendengar langsung darimu. Berjanjilah, bahwa kau akan memberikan yang terbaik untuk adikku."           

"Tentu saja. Apa kau berpikir bahwa aku akan melakukan yang sebaliknya?"         

"Aku hanya ingin memastikan."           

Lihat selengkapnya