Senjakala di Dukuh Merak

Artha Julie Nava
Chapter #6

Old Nemesis

Perempatan itu memang kembali makan korban, dan Giri tidak pernah menyangka bahwa kali ini dirinya yang tersungkur di jalan beraspal halus itu. Sepeda motornya terlontar ke tepian jalan, dan rasa pedih yang menyengat membuatnya tahu bahwa kulit lengannya sedikit terkelupas akibat gesekan dengan aspal.

Dia meringis menahan sakit sembari berusaha berdiri kembali, dan memeriksa sepeda motornya. Tidak ada kerusakan yang mengkhawatirkan. Hanya ada sedikit goresan di bagian tangki.

Giri menatap marah kepada sosok yang memotong jalannya dengan tiba-tiba tadi. Orang itu dengan tenang memarkir motornya dan melangkah menghampiri. Ketika sudah dekat, dia membuka helmnya.            

Giri yang semula hendak menyemburkan kemarahannya, seketika terpana. Kok? Perempuan?        

"Kau tidak apa-apa?" sapa perempuan itu.            

Giri tidak segera menjawab. Sosok di depannya itu seolah menghisap panca inderanya, dan membuatnya lupa dengan nyeri di lengannya. Wajah bulat telur, dengan dua alis hitam yang melengkung tinggi, sepasang mata jernih bersorot tajam, dan rambut hitam melewati bahu yang dibiarkan tergerai lepas. Jaket hitam yang dikenakan perempuan itu sedikit menyamarkan sosoknya. Itu sebabnya Giri tak menyangka, bahwa pengendara motor yang lihai itu ternyata perempuan.           

Perempuan itu menatapnya. Seulas senyum mengejek muncul di bibirnya. "Hello, Giri."          

Giri mengernyitkan kening. Rasanya dia kenal dengan perempuan ini.            

Senyum di bibir perempuan itu perlahan menghilang. "Masa kau tidak mengenaliku? Aku Arimbi."           

Arimbi?? Giri mengerjapkan mata.            

"Astaga, ternyata daya ingatmu tidak terlalu bagus. Baru dua belas tahun kita tidak bertemu, dan kau sudah lupa padaku."           

"Kau berubah sekali...," ujar Giri, masih tidak yakin bahwa itu benar Arimbi. "Dulu kau..."           

"Kurus, hitam, jelek," potong Arimbi, "Dan tidak ada seorangpun yang bakal tertarik denganku. Begitu bukan, yang sering kau katakan dulu?"           

Giri salah tingkah. "Maaf. Tapi, hey, itu kan dulu, saat kita masih kecil. Kau tidak dendam padaku, kan?”           

Arimbi kembali tersenyum mengejek. "Apa untungnya menyimpan dendam pada orang sepertimu? Kasar, pelupa, tidak tangkas. Masa dipotong gitu saja, kau sudah tersungkur?”           

"Apa?"           

"Dan tuli," tambah Arimbi sambil melangkah menuju sepeda motornya.            

Giri mengerutkan kening. Rasa tidak senang menjalari hatinya ketika mendengar ejekan Arimbi. Bukan sekali ini saja Arimbi seenaknya melontarkan cemoohan pedas seperti itu. Di saat anak-anak yang lain memilih menurutinya, Arimbi justru paling sering menentangnya. Dan sekarang, Arimbi kembali mengingatkannya pada masa kecil dulu.              

"Hei, tunggu dulu." Giri memanggil Arimbi. Gadis itu menoleh.            

"Ada apa lagi?"           

Lihat selengkapnya