Butiran air jernih jatuh dari atas langit, semakin lama semakin banyak hingga membasahi dua pusara. Bau khas tanah basah yang segar, dan harum bunga kamboja putih serta bunga melati memenuhi indra penciuman. Sudah dua tahun berlalu semenjak mereka yang dicintainya pergi dengan tenang. Rasanya baru kemaren canda tawa dan pepatah mereka menghiasi hari-harinya, mengingatkan saat langkahnya hampir tergelincir pada hal yang di benci Tuhan. Kenyataan, mereka telah lama pergi. Mengapa begitu pahit dan menyakitkan. Tangisan kehilangan terdengar semakin pilu dari bibir mungil seorang gadis. Bibir mungilnya bergetar menahan udara dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang, tak peduli rahmat Tuhan yang sedang mengguyur bumi dengan derasnya serta tubuh rapuhnya hingga basah kuyup. Membasahi tumbuhan, tanah, serta apapun yang terdapat didaerah yang terkena curah hujan, tanpa ampun.
Sudah satu jam, gadis itu berdiam diantara pusara dua orang yang sangat disayangi. Mengenang sejuta peristiwa bersama mereka yang tak pernah lagi kembali menemani setiap hari-harinya seperti dahulu. Setiap insan yang bernyawa pasti akan mati, dan setiap ada pertemuan selalu ada kata perpisahan. Waktunya tak pernah disangka oleh peramal hebat sekalipun.
Kapan panggilan itu akan tiba disetiap insan yang bernyawa, dan entah kapan datangnya perpisahan. Rahasia Tuhan. Tapi, mengapa harus secepat ini. Ikhlas? Sudah dua tahun berlalu, ia mulai terbiasa hidup tanpa mereka, tak bisa ditampik luka akan kerinduan yang tak akan pernah usang masih menganga lebar. Ia sudah belajar mengikhlaskan mereka. Sudahkah?
Tangan lembutnya menggenggam tanah merah bertaburan bunga khusus orang meninggal. Menangis tanpa suara, merintih memanggil dua orang yang berada di dalam sana. Sungguh kasihan suara tangis kerinduannya, sangat menyayat hati. Pilu. Ini sebuah kerinduan, bukan bentuk dari ketidak ikhlasan. Benarkah?
"Papa, mama...Shasha rindu kalian. Apa kalian tidak merindukan Shasha dan Abang?" Lirih Shasha. Tidak ada jawaban dari keduanya. Memang tidak akan pernah terdengar suara lembut nan kasih sayang mereka lagi, serta belaian manja mereka. Kini dirinya yatim-piatu, masih bersyukur tidak sebatang kara.
Matahari mulai kembali ketempat peraduan, membuat semesta menjadi gelap gulita. Sinar hangat mentari tergantikan dengan cahaya lembut bulan yang remang-remang, walaupun begitu masih sanggup menyinari bumi, meski tak seterang cahaya mentari. Malam mulai datang.
Cakrawala berubah warna menjadi aurora bercampur jingga, dan gelapnya malam. Hujan telah berhenti beberapa menit lalu. Ujung dedaunan masih meneteskan air, sisa guyuran hujan. Jangkrik, dan kodok berlomba-lomba mengeluarkan suara merdu mereka, memecahkan keheningan malam hari.
Gadis itu, belum beranjak seinci pun, tak peduli angin berhembus membawa udara dingin setelah hujan. Menusuk kulit, lengan panjang yang dipakainya tak berguna sama sekali. Gigi kecilnya bergemeletuk, dan sekujur tubuhnya menggigil menahan dingin, juga tak ada rasa takut yang menghinggapi dirinya. Mengingat, tempat ini adalah pemakaman umum, dan gadis itu sendirian dari golongan yang terliat mata. Dibilang sendirian juga tidak, karena ada mbak sepupunya yang sedang menunggu ditempat parkiran, jauh dari dirinya berada. Ia yang memaksa mbak sepupunya untuk menunggu di dalam mobil, memberi ruang privasi baginya untuk menghilangkan kerinduan yang tak sepenuhnya lenyap.
Tatapannya kosong. Sekelebat bayangan kedua orang tuanya membuat Shasha tersenyum. Cahaya kehidupannya hilang sudah, bersamaan dengan kepergian kedua orang tuanya. Separuh jiwanya pergi. Shasha pintar menutupinya dengan kecerian semu, dan sedikit kenakalan. Menurutnya sih, kenakalannya sedikit.
Acuh, dengan hatinya yang sudah mulai tak tersisa, digerogoti rasa rindu. Tangisan pilunya tak kunjung berhenti, bahunya bergetar hebat menahan semua kerinduan yang tak pernah bisa terobati sebelum bertemu. Mustahil.
"Shasha!" Seseorang memanggil namanya. Suaranya sangat khas dipendengaran Shasha. Tentu bukan suara dari kedua orang tuanya yang berada di dalam pusara. Mustahil. Kecuali dirinya sedang bermimpi, atau.... ia sudah menyusul papa mama ke alam sana?
Orang yang memanggilnya menyentuh pundak Shasha, mengelusnya lembut, seakan dengan cara itu bisa memberikan kekuatan yang dialirkan lewat sentuhan lembut nan kasih sayang. Sekali lagi, itu bukan sentuhan dari Papa Mama, padahal ia sangat mengharapkan hal itu terjadi.
Soyi, mbak sepupu dari Papa mendekap tubuh Shasha erat, mengurangi rasa dingin Shasha yang sejak tadi ditahannya. Soyi membiarkan adik sepupunya menangis tersedu-sedu di dalam pelukannya. Hati Shasha sakit, serta batinnya tak sanggup menahan beban kerinduan. Setiap berziarah ke pusara Papa Mama selalu begini.
"Kalau tau lo masih nangis kayak gini, gue gak bakalan mau nemenin lo. Katanya sudah ikhlas, labil lo!"
Shasha menghapus sisa air matanya. "Ya, gue udah ikhlas, kok. Hanya rindu aja." Soyi menggeleng kecil.
"Alasan lo."
Shasha bangkit berdiri. "Pulang, yuk! Gue kedinginan." Soyi menggandeng tangan adik sepupunya.
"Eh, gimana tuh, baju lo basah. Ntar lo sakit." Khawatir Soyi.
"Siaah, lebay lo. Kayak pertama kalinya aja gue mandi hujan. Gue gak papa kok." Senyum Shasha meyakinkan.
Soyi belum menjalankan mobilnya, melihat sekitar yang sangat gelap. Tiba-tiba, buluk kuduknya berdiri, merinding. Sebelum meliat hal yang aneh-aneh, ia segera melajukan mobil meninggalkan perkarangan pemakaman umum. Sedetik kemudian Soyi jadi bertanya-tanya di dalam fikirannya. Apa tadi adik sepupunya tidak merasa takut sendirian dipemakaman dengan hari yang mulai gelap? Untung saja, pusara om dan tante sedikit lebih kepinggir, dekat jalan raya.
Didalam mobil, Shasha kembali mencoba ceria, bercerita kejadian apa saja saat Soyi di Singapore untuk menempuh pendidikannya. Sekarang kebetulan Soyi libur panjang, dan menyempatkan diri pulang ketanah air, mengingat Bunda akan melahirkan adik kembar Soyi yang akan menjadi sepupu Shasha juga.
"Ooya... apa kabar sama makhluk abstrak itu?" Tanya Soyi, disambut tawa kecil Shasha. Soyi selalu menyebut Abang lelaki satu-satunya, dengan sebutan 'makhluk abstrak'. Kalau Soyi dan Shasha bersahabat, beda dengan Soyi dan Dava. Abang Shasha, yang sudah seperti kucing dan anjing. Tak ada hari tanpa pertengkaran.
"Ciee, kangen nih, ya?" Goda Shasha. Soyi menunjukkan ekspresi jijik, hendak memuntahkan sesuatu. Shash tertawa.
"Kalian gak pernah akur. Kata orang-"
"STOP!!! Gue gak mungkin suka sama Abang lo yang super nyebelin. Masa bodo, kata nenek moyang yang bilang dari pertengkaran akan menimbulkan cinta. Omong kosong!" Omel Soyi memotong ucapan Shasha.
Shasha mengangkat sebelah alisnya. "Kok jadi kecinta, dan nenek moyang? Jangan-jangan, mbak Soyi beneran suka Abang, ya? Ngaku ajalah." Tambah menggoda. Soyi mengacak rambut Shasha.
"Anak kecil ngomongnya ngelantur. Bangun, woy!!" Gemas Soyi, setengah kesal. Shasha menyengir, menunjukkan gigi putihnya.
"Aye...Aye, biar gak mati penasaran, gue kasik tau malam ini Abang Dava akan pulang sama grand Mom dan grand Pa." Ujar Shasha, masih dengan senyum yang mengembang.
"Gak nanya! Dan satu lagi, kapan lo pakek khimar(Jilbab)?!" Sindir Soyi.
Shasha memutar bola mata jengah, ekspresinya datar. "Gak usah dibahas." Ujarnya tegas.
Nah, ini salah satu bentuk kenakalan Shasha. Ia berani membuka khimar, satu bulan setelah Papa Mama meninggal. Berapa kali nasehat masuk ketelinganya, tapi tak ada yang digubris. Apa ini yang disebut ikhlas?
Soyi mendengus. Kapan adiknya mendapatkan hidayah?
"Kira-kira grand Pa dan grand Mom sampai rumah jam berapa ya? Kan gak lucu, kita belum pulang mereka sudah datang." Ujar Soyi, mengalihkan topik. Suasana sedikit canggung.
Bibir Shasha berkedut menahan tawa. "Pintar sekali mbak sepupu gue ini, bilangnya nanya grand Pa dan grand Mom. Aslinya, sudah gak sabar ketemu pujaan hati." Shasha kembali menggoda.
Soyi tidak mendengarkan ocehan tidak jelas Shasha. Menghidupkan musik dengan volume di atas rata-rata. Shasha tertawa terbahak. Perjalanan kali ini bertema, menggoda dan membuat kesal Soyi. Hahaha.
***
Cuaca minggu pagi ini sangatlah cerah dari hari-hari sebelumnya, tanpa digelayuti awan mendung. Pertanda akan turunnya rahmat Tuhan. Hujan. Keluarga kecil yang terdiri dari kedua orang tua, dan dua orang anak, putra-putri, tapi tidak kembar. Tengah berbincang-bincang ringan, merilekskan otot yang lelah dari rutinitas sehari-hari yang melelahkan, sekaligus membosankan.
Mereka memiliki taman belakang yang cukup luas dan sejuk, karena Papa Mama suka sekali dengan keindahan warna hijau tumbuhan beserta warna-warni bunganya, hal itu juga menurun pada kedua anaknya. Benarlah kata seorang pepatah yang mengatakan 'Buah jatuh tak pernah jauh dari pohonnya'.
"Pokoknya, Shasha gak mau tau, diacara wisuda nanti harus datang!" rengek anak perempuannya dengan wajah ditekuk rapat, sudah kayak kain kusut.
"Yang terpenting, adik tersayang Abang ini lulus, dan sehat wal-affiat." Seraya merusak kerapian khimar Shasha.
Shasha berdecak kesal, dan bertambah kesal, karena Papa ikut-ikutan membenarkan ucapan Dava, Abangnya.
"Papaaaa.......!"
Lelaki berumur kepala empat, yang disebut Papa tertawa renyah. Suka sekali menjahili anak perempuannya, dan Shasha anak perempuan satu-satunya di keluarga kecil ini, tak berniat menambah keturunan lagi. Kondisi rahim Mama yang tak memungkinkan semenjak Mama mengalami keguguran, saat mengandung bayi kembar. Shasha juga satu-satunya anak Papa Mama yang tinggal seatap. Jadi, mau tak mau ia menjadi bahan jahilan Papa Mama untuk sekedar hiburan setelah pulang kerja.
Dava? Abangnya tinggal bersama orang tua dari Papa. Sejak lulus SMA grand Pa, dan grand Mom langsung memboyong Abang Dava pergi ke daerah asal grand Pa. England. Untuk melanjutkan study disana, serta membantu grand Pa menjalani perusahaan agar saat waktunya tiba, semua perusahaan milik grand Pa beralih tangan kepada cucu lelaki satu-satunya, sedangkan anak tunggalnya sendiri sangat tidak berniat berkecimbung dalam dunia bisnis. Dari pada dipaksa, dan akhirnya malah membuat perusahaan gulung tikar, mending gak usah sama sekali.
Untungnya Abang Dava sangat suka bermain dengan ganasnya dunia bisnis. Papa lebih suka menjadi seorang dosen disalah satu universitas ternama. Dapat membagikan ilmu, dan menurut Papa pribadi, menjadi seorang Ceo perusahaan, sangat dikit meluangkan waktu untuk keluarga. Walau sebenarnya menjadi dosen juga memiliki waktu terbatas bersama keluarga. Setiap pekerjaan pasti mempunyai resiko yang harus ditanggunga, begitu juga dengan pengangguran.
Dan, entah kebetulan atau karena doa grand Pa. Papa memiliki seorang anak lelaki yang mempunyai cita-cita terbesarnya menjadi seorang Ceo, ingin mengikuti jejak grang Pa. Kini Abang Dava pulang, karena sedang berlibur. Itu merupakan mimpi buruk bagi shasha, karena dengan kepulangan Abangnya bertambah satu lagi orang yang suka menjahilinya, malah lebih parah dari Papa Mama. Hufh.
Mama datang membawa tiga cangkir teh hangat, dan secangkir kopi hitam panas untuk Papa. Shasha mendekati Mama, tersenyum penuh arti, berharap mendapat pembelaan dari sang wanita bidadari syurga yang telah bersusah payah melahirkannya kedunia ini. Tapi, kenyataannya musnah saat Mama berkata, "Bukannya sebulan penuh Papa ada pertemuan dengan para dosen seluruh Asia, dan Mama ada acara fashion show di Paris." Mama tersenyum miring, memainkan satu alisnya naik turun. Mama seorang disaener.
Papa menepuk jidat pelan. "Papa, lupa!!" Ujar Papa, pura-pura heboh. Shasha tambah menekuk wajahnya masam.
Dava tertawa bahagia. Kesal, Shasha melangkah pergi seraya menghentakkan kaki ketanah, namun terhenti dengan perkataan Papa yang membuatnya senang.
"Kayaknya.....bisa di headle." Ujar Papa sedikit berbisik pada Mama, tapi masih bisa terdengar oleh telinga anaknya.
Batal deh, Shasha ngambek. Shasha berbalik arah, memeluk erat Papa Mama bersamaan. Berloncat-loncat ria, seperti anak kecil diberi permen lolipop. Senyumnya mengembang semakin lebar.
"Dasar modusss!!" Ketus Dava.
Shasha memeletkan lidah ke arah Dava. Mengejek. "Iri aja, iri itu tanda tak mampu!" Shasha membalas tak mau kalah. Ia cekikikan, meliat kemarahan Abang Dava tersayangnya. Sayang, kalau Abang Dava membelikan adiknya komik detektif conan seribu seri. Hehehe.
Mama cepat-cepat merelainya, sebelum terjadi perang besar. Dava vs Shasha. Hari ini mood Shasha sangat bagus, ia menuruti kata Mama, agar tidak bertengkar dengan Abang Dava. Tapi, tidak untuk selanjutnya, apalagi yang memulai peperangan Abang Dava, pasti Shasha ladenin.
Shasha menyuruh Papa Mama menautkan jari kelingking bersama-sama, tanda sebuah perjanjian. Tapi, Papa ataupun Mama tidak ada yang mau melingkarkan jari kelingkingnya ke jari kelingking anaknya. Ia kembali mengerucutkan bibir ranumnya, serta mengembungkan pipi chubby-nya. Lucu, kayak ikan balon.
"Insyaallah." Mama membelai ubun-ubun Shasha.
"Kok isy-"
Mama menjawil hidung Shasha. "Insyaallah-nya orang islam itu, 99% iya, dan 1% tidak." Shasha malu, sudah melupakan petuah Mama.
"Dasar, nenek pikun!" Ledek Dava. Shasha mulai terpancing.
Kali ini, Papa maupun Mama tidak bisa mencegah terjadinya perang besar. Biarkan saja, toh yang terpenting mereka tidak saling membunuh atau melakukan pertengkaran yang bisa melukai orang lain, dan diri sendiri. Mereka hanya saling menggelitik, serta menyiram air menggunakan selang kran air untuk menyiram tanaman. Papa Mama juga ikut-ikutan, saling menyiram air. Jadilah satu keluarga kecil itu basah, karena aksi siram-siraman. Semuanya tertawa bahagia, tanpa beban apapun.
Sungguh hari yang sangat menyenangkan, dan tak bisa diputar kembali, biarlah semua itu menjadi kenangan yang tak pernah terlupakan.
"Sha....Shashaaa!?" panggilan mbak Soyi menyadarkan Shasha dari lamunan kebahagian yang kini telah menjadi sebuah kenangan terindah dalam hidupnya.
"Jangan melamun terus! Nangis lagi. Kesambet, baru tau rasa!!" Ujar Soyi.
Shasha nyengir. Menghapus sisa air mata. Ia tak sadar ketiduran dan memimpikan kenangan terindahnya. Matanya melebar kaget, meliat keadaan di luar. Hujan. Kali ini beserta petir, ditambah lampu kota yang padam total. Gelap gulita. Ia tak suka keadaan ini. Soyi menyadari perubahan ekpresi Shasha.
"Lo gak papa, kan?" Khawatir Soyi.
Shasha mengangguk ragu, menyuruh mbak Soyi tetap fokus pada jalanan. Bahaya, saat menyetir konsentrasi hilang, ia gak mau menyusul Papa Mama terlalu cepat, walau itu keinginannya. Hujan turun kembali, semakin lebat dari sebelumnya. Kabut tipis akibat hujan, mempersempit jarak pandang, petir saling sambar menyambar. Sesekali, langit malam yang hitam legam bercampur mendung, bercahaya karena kilat, sudah seperti cahaya jepretan kamera digital yang menggunakan flas.
Tangan Shasha bergetar, di cuaca dingin ini ia malah mengeluarkan banyak keringat hingga seakan mandi keringat. Wajahnya pucat pasi, dan terisak tertahan. Ketakutan. Soyi menoleh sekilas, mendengar isakan adik sepupunya.
"Lo, kumat ?" Tanya Soyi memastikan.
Shasha mengangguk kecil. "iya." Suaranya bergetar menahan rasa takut yang mulai menyelubungi jiwanya. Kejadian malam itu, berkelebat tanpa diinginkan. Mengerikan.
Suara raungan petir terdengar lagi, Shasha menutup telinganya dengan kedua tangan. Sangat rapat. Tubuh Shasha bergetar hebat. Untung waktu di pemakaman tidak ada petir, dan masih ada cahaya yang cukup.
"Kita berhenti sejenak, ya....? Dimasjid itu?!" Tunjuk Soyi kearah masjid yang tak begitu jauh dari tempatnya berada, tak ada jawaban, yang terdengar hanyalah isak tangis ketakutan.
Tanpa menunggu jawaban dari Shasha, Soyi membelokkan mobilnya menuju arah masjid yang tadi ditunjuknya. Mobil milik Soyi sudah memasuki area parkir masjid yang lampunya masih menyala menggunakan tenaga desel. Tapi, tiba-tiba lampu masjid, dan sekitarnya padam. Shasha menjerit histeris, menutup mata erat. Soyi menyentuh pundak adik sepupunya, mengelusnya perlahan.
"Aaaaaaaa......!?!" Shasha menjerit ketakutan, karena sentuhan Soyi, menepis kasar tangan mbak sepupunya.
Soyi belum melajukan mobilnya, menenangkan Shasha lebih dulu. Menggenggam tangan Shasha erat. Shasha berusaha melepaskan tangan orang yang menggenggam tangannya sangat erat. Ia tidak bisa mengendalikan diri saat kumat, rasa takut semakin meraja rela. Mati-matian ia menahan rasa takut ini. Tidak bisa. Setiap kali ia berusaha senormal mungkin, sekelebat bayangan masa lalu itu tambah berputar semakin jelas di memori otaknya, serta bertambah menakutkan.
"Ssshhhh! Tenanglah kamu gak sendirian, ini aku Soyi, mbak sepupu lo. Tenang ya...., gak akan terjadi apa-apa, percaya dah, ma gue!!" Soyi mengelus pelan punggung tangan Shasha dan kepalanya, bergantian.
Shasha mengangguk lemas, ia sedikit lebih tenang, karena tau dirinya tidak sendirian di dalam kegelapan yang sangat menakutkan. Setelah Shasha sedikit tenang, Soyi memacu kecepatan mobilnya, tapi harus tetap waspada menjaga rem dan mempertajam penglihatan semampu mata normalnya. Kabut tipis tak kunjung hilang, menggantung ditengah udara malam yang dingin.
***
Akhirnya soyi dan Shasha sampai rumah dengan selamat, ketakutan Shasha juga sudah mereda. Soyi memapah adik sepupunya memasuki rumah. Shasha menolak, memilih jalan sendiri, lagipula ia sudah tidak apa-apa. Rumah besar ini sepi, sehari-harinya hanya Shasha dan bi Ipeh serta suaminya yang tinggal di sini, semenjak satu tahun terakhir ketiga anak perempuan bi Ipeh juga tinggal disini menemani Shasha. bi Ipeh sudah mengabdi dari Papa Mama masih pengantin baru, hingga kini Papa Mama telah tiada, bi Ipeh tetap setia.
"Kalian lama sekali!!" Ujar bude yang sengaja menunggu di ruang tamu. Hari ini bude dan pade, juga mbak Soyi menginap dirumah. Kangen katanya.
Belum sempat Soyi dan Shasha memberi alasan, mereka dikagetkan dengan suara bariton yang menjengkelkan.
"Lo ajak kemana, adek gue, hah??" Ujar Dava berjalan mendekat. Pakaiannya belum ganti dari perjalanan.
"Kok udah datang." Soyi dan Shasha serempak.
Dava mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Lo berdua ngerencanain apa? Jangan lo cuci ya, otak adik gue ini." Sinis Dava pada Soyi.
"Dav." Panggil bude, berharap peperangan tidak dimulai saat ini juga. Dava menoleh pada bude, menyengir enteng. Secara tidak langsung meminta izin.
Bude menghela nafas. Terserah mereka. Bude kembali duduk, mengingat usia kandungannya yang sudah akan menginjak proses persalinan, bude tampak letih berdiri terlalu lama. Mengandung bayi kembar sangatlah berat dari biasanya.
Pancingan mengenai sasaran. Soyi menatap Dava kesal, yang ditatap senyum tak berdosa. "Lo!" Tunjuk Soyi tepat di depan wajah Dava.
"Me-"
"Loh, Loh. Baru pulang kok, langsung bertengkar." Grand Mom tiba-tiba datang, tak sengaja memotong ucapan Soyi.
Soyi menghela nafas, menetralisir amarahnya. Shasha dan Soyi bersaliman, mencium punggung tangan grand Mom. Grand Mom membalas mencium kedua pipi cucu-cucunya. Kangen.
"Kalian masih mampir kemana saja? Jangan membuat khawatir. Baru pulang grand Mom bisa jantungan." Canda grand Mom menirukan orang yang terkenak serangan jantung.
"Aih, grand Mom bicaranya gak dijaga." Shasha mengerucutkan bibir. Hati kecilnya tak mau merasakan kehilangan lagi.
Grand Mom tersenyum, mengelus kepala Shasha. Hatinya berkata, Kapan cucuku memakai khimar kembali?
"Yaudah sana istirahat, ganti bajunya. Kalian habis kehujanan, ya?" Ujar grand Mom.
"Iya." Jawab Soyi.
Shasha berjalan menuju kamarnya, sesaat langkahnya terhenti. "Grand Pa dan Pade, mana?" Tanya Shasha, karena matanya belum melihat keduanya.
"Grand Pa sudah istirahat. Pade juga." Jawab bude. Shasha ber 'oh' lalu pamit untuk istirahat, begitu juga dengan Soyi.
Dava menatap kepergian sepupu dan adiknya, penuh kecurigaan. Ia yakin keduanya memiliki rencana yang mungkin bisa menguntungkannya. Kalau tidak, mengapa keduanya serempak kaget melihat Dava datang lebih cepat dari jadwal yang diperkirakan. Tersenyum penuh arti dan kejahilan.
***
Jam sepuluh malam, saat semuanya sudah terlelap dalam buaian mimpi indah. Shasha dan Soyi masih terjaga. Lima menit lalu, Soyi datang kekamar Shasha, sesuai rencana mereka akan pergi ke cafe.
"Beneran jadi, nih." Ujar Shasha sedikit ragu. Soyi mengangguk sebagai jawaban.
"Kenapa? Lo kurang sehat?"
Shasha menggeleng. "Bukan gitu, sepertinya Abang Dav tau deh, kalau kita mau pergi."
Soyi mengibaskan tangan ke udara kosong. "Biarin aja makhluk abstrak itu tau. Masalah sepele."
Tepat Soyi mengakhiri ucapannya, pintu kamar Shasha terbuka setengah di banting. Menampilkan sosok tegap Dava, menghalangi pintu. Mendengus.
"Siapa yang disebut makhluk abstrak! Sudah gue duga, dua kurcaci ini akan kabur dari kandang." Tersenyum sinis.
Shasha sudah bergelayut manja di lengan Abangnya. "Boleh ya, Abang Shasha sayaaaaang...... kan ini juga permintaan calon keponakan Shasha." Shasha mengedipkan sebelah matanya.
"Shasha...!!!" Geram Soyi dan Dava serempak. Shasha sudah berlari keluar kamar.
Tentu saja Soyi dan Dava mengejar Shasha, meminta pertanggung jawaban dari omongan Shasha yang gak bisa di rem. Shasha terpojokkan. Soyi dan Dava bekerja sama, seakan lupa dengan cap 'musuh bebuyutan' keduanya. Siap menggelitik Shasha.
"Rasakan ini." Ujar Soyi. Shasha tidak bisa mengelak lagi. Tertawa terbahak, tak kuat menahan rasa geli yang berlebihan.
"Minta maaf, gak!?" Perintah Dava.
"I-iya, bbwhhaaaa. Hahaha." Ujar Shasha disela tawa gelinya. Ia nyerah.
"Apanya yang iya?" Soyi meminta kejelasan.
Shasha sedikit kesal, mereka berdua berkomplotan. "Hahaha....S-shasha minta maaf!" Akhirnya Soyi dan Dava mau menghentikan aksinya menggelitiki Shasha.
Shasha mengatur nafas. "Kalian curang!"
Soyi hendak menjawab, suaranya tertahan di tenggorokan. Mendengar suara orang khas bangun tidur. Shasha menelan ludah, melihat siapa yang berdiri tak jauh dari mereka. Pade.
"Dava, Soyi, dan Shasha. Kalian kok belum tidur?" Ujar pade. Matanya merah, mungkin karena kaget mendengar keributan yang diperbuat ketiganya.
"Lagi temu kangen, pade." Alasan Dava.
Jujur semua sepupu Soyi, terutama Soyi sendiri sangat takut pada ayahnya. Ayah tegas, dan perintahnya gak bisa diganggu gugat. Kalau marah matanya merah seketika. Menakutkan. Apa semua tentara begitu? Menyeramkan.
"Sudah, sekarang tidur." Perintah pade, langsung mendapat anggukan dari ketiganya. Patuh. Lalu, pade balik kekamarnya lagi.
Soyi menghela nafas lega. "Untung ayah gak marah."
"Iya." Shasha dan Dava membenarkan.
Suasana hening sesaat. Soyi dan Shasha saling melirik, memikirkan kelanjutan rencana mereka. Dava menyadarinya.
"Kalian gak boleh keluar, kalau cuman berdua!" Ujar Dava.
"Maksudnya, Abang harus ikut?" Tebak Shasha, mendapat anggukan persetujuan Dava seraya senyum manisnya, sedangkan Soyi menggeleng menolak.
"Tapi Abang Dav kan baru pulang. Gak capek? Mending istirahat aja, pasti capek setelah perjalanan jauh." Bujuk Shasha, agar Dava tidak ikut.
Dava menggelang. "Lebih capek gak bisa tidur, dan mikirin kalian diluar sana. Takut terjadi apa-apa." Shasha menghela nafas. Tidak ada cara lain.
Padahal ia sudah terbiasa keluyuran malam hari. batin Shasha.
Pada akhirnya Soyi terpaksa membiarkan makhluk abstrak ikut. Benar kata Dava, demi keamanan karena ini terlalu malam buat wanita baik-baik keluar rumah. Mereka bertiga mengendap-endap seperti maling dirumah sendiri, mengantisipasi ada yang bangun lagi seperti pade. Sudah sama dengan maling kelas atas melikak-likuk tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, dan akhirnya mereka bisa keluar dengan mudah.