SENSE

Naynee
Chapter #2

CHAPTER 2

Seorang pemuda berhidung mancung, bertubuh jangkung, dan rupawan, jangan lupakan sebagian gennya mengandung gen orang Prancis membuatnya seperti pahatan patung Yunani. Sempura. Tak kalah juga sikapnya yang budi pekerti, menghormati yang tua, dan menyayangi yang muda serta Soleh, berbakti kepada kedua orang tuanya, kecuali satu hal yang sampai sekarang belum bisa menuruti perintah orang tuanya. Menikah.     Murah senyum? Mungkin juga tidak. Tiada yang sempurna kecuali Dia yang Maha pencipta. Pemuda itu juga mempunyai kekurangan, jarang atau malah tidak pernah tersenyum, serta acuh tak acuh pada hal yang dianggapnya tidak terlalu penting, apalagi menyangkut manusia yang berlawanan jenis kelamim dengannya. Wanita.

     Bukannya ia tidak mau mematuhi sunnah dari utusan yang mulia sang pencipta, dan menyempurnakan sebagian agamanya, hanya saja.....bisakah tidak usah terlalu tergesa!!! Sekarang fokusnya, hanya pada satu tujuan, yaitu mengembangkan perusahaan yang sudah di kelolah secara turun temurun, agar berkembang pesat, serta diakui seluruh dunia. Ambisinya.

     "Perusahaan lo sudah merajalela hampir keseluruh penjuru dunia, dan sudah termasuk perusahaan terbesar no.3 se Asia Tenggara, Timur, dan Selatan. Apa yang masih perlu lo kejar lagi ?!" Cibir Fiko, sahabat karibnya sekaligus sahabat ketika masih memakai popok. Sebenarnya, ia dan Fiko mempunyai satu sahabat lagi yang kini tengah diambang kematian.

     Pemuda itu tertawa kecil. "Ta-"

     "Jangan lupa! Lo, satu-satunya pengusaha yang memegang saham terbanyak di benua Australia!!"

     "Gue belum menguasai Dubai!" Pandanganya fokus pada satu titik gambar peta yang tertempel dididing ruangan kerjanya, disana sudah dilingkari tinta spidol merah. Negara Dubai.

     Fiko menghela nafas, susah mengajak istirahat sejenak pada orang yang over dosis bekerja.

     Ya..... dengan sikap otoriternya ia bisa dengan mudah menjayakan perusahaan turun temurun milik keluarganya. Bagi para pengusaha junior maupun senior sekalipun, mendengar langkah kakinya membuat bulu kuduk merinding, tulang-tulang bergetar ketakutan. Jangan cari masalah, kalau tidak ingin cepat gulung tikar!

     Betapa sengitnya bercengkrama dalam dunia bisnis, teman pun bisa menjadi musuh yang sangat mematikan. Semua tidak pernah lepas dari hukum alam, 'siapa yang kuat maka dia yang kan bekuasa, dan yang lemah akan selalu tertindas tak berdaya'. Selalu begitu.

     Pemuda itu mengusap wajah tampannya kasar. Lelah dengan sikap semua orang padanya, kenapa harus membicarakan hal yang tidak penting. Menurutnya.

     "Lo, tidak menjenguknya?" Mengalihkan pembahasan yang selalu saja monoton, 'Kapan mau nikah?'

     Brakk.

     Belum sempat Fiko menjawab. Pintu kerja pemuda itu dibuka seseorang, lebih tepatnya setengat di banting. Beriringan terbukanya pintu, memunculkan sosok wanita berjilbab anggun, berwajah keibuan. Tampilannya modis, walau memakai jilbab dan sudah bisa dikatakan berumur, tak ingin kalah dengan yang muda.

     "Assalamuaalaikum, my son." Ujarnya, masih dalam mode sabar.

     Seorang ibu memang selalu sabar menghadapi anak-anaknya, senakal apapun mereka. Hanya saja sang anak yang terus melunjak menguji kesabaran bidadari surga yang melahirkannya. Kesabaran memang tidak ada batasnya, tapi tingkat kesabaran itu ada!

     "Waalaikum Salam."

     Wanita anggun itu, mendekati anaknya. Pemuda itu 'Ray', dengan wajah masam, membuat keriput diwajahnya semakin tampak jelas. Tanda kehidupan keras yang dijalani.

     Ray bersaliman, mencium punggung tangan ibunda tercintanya. Ia faham, apa yang akan menjadi topik pembicaraan kali ini, dan seterusnya hingga ia berkata 'iya' atau 'setuju', barulah akan berhenti.

     Ray melirik sahabatnya, berharap mendapat bantuan, tapi harapannya musnah. Fiko malah cengar-cengir gak jelas diatas penderitaan sahabatnya, kemudian berpamitan undur diri, membiarkan Ray hanya berduan bersama sang ibunda. Senyum menyebalkan itu masih terukir diwajah Fiko, hingga hilang di telan pintu. Menyebalkan.

     Ray mendengus. Seketika senyumnya terukir, menyambut kedatangan Mami.

     "Mami, gimana kabarnya? Kok, habis pulang dari Eropa tambah cantik ya, sampai anaknya sendiri pangling, bagi-bagi dong caranya biar anaknya juga tambah guuuaaannteng!" Ray tersenyum lima jari, seraya memijat pundak Mami pelan. Menuntun Mami untuk duduk di sofa ruangannya. Senyumnya belum hilang.

     Mami memegang tangan Ray yang ada dipundaknya, mengelusnya lembut. "Mau Mami kasik tau caranya?" Tawar mami yang langsung mendapat anggukan antusias Ray.

     "Caranya......besok, kamu harus ikut Mami dan Papi menemuai gadis itu, bagaiman?!" Ray menelan ludah. Mami terkikik kecil. Kata manis Ray tak akan manjur lagi untuk membatalkan pertemun paling penting ini.

     Dengan berat hati, Ray mengangguk. Gak tega juga, meliat Mami seakan mengemis pada anaknya sendiri, walau kenyataanya terbalik. Ray yang memohon setengah mengemis agar pertemuan yang sudah dapat ditebak arah pembicaraannya kemana, agar tidak pernah terjadi.

     "Cuman menemuikan, gak disuruh yang aneh-aneh?" Ceplos Ray polos.

     Mami menggeleng, masih mengumbar senyuman. "No, no,no. Kalian akan menikah!!"

     Sudah dapat ditebak pasti akan di tuna-

     "Apppa......N-I-K-A-H ??! Mami." Mata Ray membulat tak percaca, ia kira Mami hanya akan menyuruh Ray bertunangan dengan seorang gadis anak sahabat Mami dan Papi. Jiwanya syok. Banget.

     "Kenapa, tidak tunangan dulu, Mami?!" Usul Ray.

      Secara, kalau tunangan masih bisa dibatalkan layaknya orang pacaran yang berkata putus, tapi kalau sudah menikah. Itu tidak main-main lagi. Sakral.

     Mami kembali menggeleng, semakin membuat Ray gusar. "Mami tidak mau ikut permaianan anak ganteng Mami lagi. Bosan!" Mengerucutkan bibir yang sudah dipoles dengan lipstik. Bergaya merajuk.

     Skakmatt.

     Mami menyentuh pundak Ray. "Papi mu, menyuruhmu tugas disini agar anakku ini bisa dengan mudah menemui nya. Sudah satu bulan sejak kedatanganmu, dan kau terus menunda dengan berbagai macam alasan. Bukannya kamu senang kembali kesini, bertemu kedua sahabat kecilmu dan merawatnya."

     "Iya, awalnya senang banget, sebelum mengetahui rencana gila ini!" lirih Ray.

     "Rencana ini tidak gila, anak Papi Mami yang ganteng." Mami terkekeh.

     Ray menghela nafas. "Terserah, Mami aja. Anakmu, siap mengikuti perintah." Pasrah.

     Mendengar ucapan setuju dari anaknya, walau tidak ikhlas. Mami bersorak gembira. Jangan berfikir, Mami akan lompat seraya menari gak jelas, hanya senyuman dibibirnya tampak lebih jelas lagi hingga membuat matanya sedikit menyipit. Sebegitu senang dan bahagianya meliat anaknya setuju. Apa semua ibu di dunia sangat senang anaknya segera melepas status jomblo mereka, atau hanya Mami yang tak sabar, hah???

     "Yaudah, Mami pulang dulu, kasihan Papi sendirian di rumah." Ray kembali mencium punggung tangan mami, ditambah mencium kedua pipi Mami yang di poles blush on merah muda.

     Menatap kepergian ibunda tercinta, hingga menghilang dibalik pintu. Ia kembali duduk di kursi kebesarannya, mengusap wajah kasar, dan mengacak rambutnya frustasi. Ia gelisah....

     Bagaimana dengan dia? Hatinya???

***

      Sesuai kesepakatan tiga hari lalu, sekaranglah saatnya Ray menerima jawaban atas lamarannya. Papi Mami sudah berangkat lebih awal, karena Ray masih ada sedikit urusan. Awalnya Mami kurang setuju berangkat terpisah, tapi dengan segala bujuk rayu, akhirnya Mami mengiyakan. Itu lebih baik, dari pada Ray tidak mau kembali lagi.

      Ray memacu mobilnya diatas rata-rata, ia baru saja menyelasaikan meeting yang sangat menguntungkan perusahaan. Sejujurnya ia lelah dan ingin langsung merilekskan otot dengan berbagai macam bentuk olahraga.

      Fikiran Ray melayang entah kemana, mengingat sebentar lagi ia akan melepas status raja jomblo, yang diberikan sahabatnya khusus untuk dirinya. Ia belum menyatakan cinta pada seseorang yang telah lama mengisi relung hatinya. Sesak, semuanya hanya tentang dia.

      Mengapa dahulu ia tidak mengikuti nasehat sahabatnya? Untuk segera melamar dia, padahal usia mereka sudah cukup menjalani ikatan suci pernikahan. Sedangkan perempuan yang saat ini dilamarnya, dia masih bocah kemaren sore. Anak SMA ingusan.

      Pasti akan menyusahkan, manja, dan ke kanak-kanakan. Batin Ray.

      Keberanian itu tak juga kunjung muncul untuk menyatakan perasaan terpendam pada sang pujaan hati, hingga hari itu terjadi. Hal yang tidak pernah diinginkan. Dia pergi, menghilang ditelan kobaran api. Dan tak ada yang tau dia masih hidup, atau telah pergi selamanya, jasadnya tidak pernah ditemukan. Hal tersedih dari semua itu, Ray belum bisa mengatakan kebenaran perasaanya. Mengenaskan.

      Galau itu semakin menjadi-jadi, saat Mami berkata akan menjodohkannya dengan anak salah seorang sahabat Mami. Itu adalah keputusan bulat yang tidak bisa dilengkungkan atau diluruskan sekalipun. Titik.

      Disisi lain ia tak mau menolak perjodohan itu, lalu membuat orang tuanya kecewa. Kini ia hanya tinggal berharap, semoga pihak wanita menolak rencana itu. Karena, hati Ray belum sepenuhnya hidup untuk menerima cinta baru. Ia tak ingin menyakiti siapapun.

      Tiiinnn.....!!?

      Suara nyaring klakson mobil memecahkan lamunan Ray. Kurang berapa kilo.... bukan! Meter lagi mobilnya akan menabrak mobil lain. Mencoba mengerem, agar musibah ini tidak terjadi, tapi sayang seribu sayang, Tuhan berkehendak lain.

      Rem mobil Ray blonk, sepertinya baru saja seminggu lalu mobil ini di service. Dalam keadaan darurat, Ray membanting setir kearah yang berlawanan, karena sangat panik ia tidak melihat ada seorang anak kecil berseragam putih merah tengah berjalan santai seraya memakan es cream.

      Anak itu tidak sempat menghindar, lalu tanpa diduga datang seseorang mendorong anak kecil itu dan menggantikan posisinya. Anak kecil itu tersungkur di tanah, lututnya luka, tapi dia baik-baik saja, sebab nyawanya baru saja terselamatkan.

      Lain halnya dengan seseorang yang tadi menolongnya, karena tidak sempat menghindar, tubuhnya tertabrak bagian depan mobil, dan terpelanting beberapa meter cukup jauh dari tempat kejadian. Cairan kental langsung keluar dari kepala, serta beberapa goresan pada tangan dan kaki. Ia pun langsung tak sadarkan diri.

     Nasib Ray juga tak jauh berbeda, setelah menabrak orang itu mobilnya menghantam pepohonan besar dipinggir jalan. Kepalanya terbentur setir sangat keras, darah mengucur dari sobekan kecil didahinya, ia sempat sadar sebentar, dan akhirnya juga langsung tak sadarkan diri karena kepalanya sangat pusing. Kejadian itu, sangat cepat terjadi.

      Semua orang membanjiri tempat kejadian. Ambulance datang begitu cepat, dengan sirine yang sengaja dinyalakan, memberitau ada keadaan darurat, agar semua kendaraan memberi jalan. Kedua orang itu, segera dilarikan ke rumah sakit terdekat, sebelum keduanya kehabisan darah dan terlambat. Berujung pada kematian.

      Para polisi, juga datang mengamankan tempat kejadian, serta barang-barang milik korban, setelah salah seorang polisi memasang garis kuning kepolisian, memberi tanda dilarang memasuki area ini untuk sementara waktu. Sedang dalam pengawasan.

      Mobil Ray meledak seketika, ledakan nya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membumi hanguskan seluruh mobil Ray, menjadikannya se-onggok kerangka besi yang masih membara. Melenyapkan semuanya.

      Dan itu menimbulkan tanda tanya besar, pihak polisi memutuskan akan menganggapnya sebagai ledakan mesin mobil, setelah membentur benda cukup keras, dan dengan kecepatan tinggi yang menyebabkan terjadinya ledakan tersebut. Entah, bagaimana kebenarannya?

***

     Dua puluh lima menit berlalu, om Ramma dan tante Ina menunggu anaknya langsung di rumah sahabat mereka. Ray belum juga datang, padahal menurut perkiraan Ray sudah datang dari sepuluh menit yang lalu. Hari ini mereka akan mendapat jawaban dari Shasha.

     "Shasha, mana?" Tanya tante Ina, belum meliat batang hidung calon menantunya. Harapnya, sih begitu.

     Raut wajah grand Mom mulai terlihat khawatir. Apa cucunya kabur? Karena tidak menginginkan perjodohan ini. Grand Mom menggeleng kecil. Posthink.

      "Tadi Shasha bilang masih ada kerja kelompok, untuk persiapan ujian akhir." Ujar bude.

     Om Ramma dan tante Ina mengangguk faham, anak mereka juga belum kunjung datang. Apa Ray nyasar, ya.....? Atau malah kabur? Tenta Ina langsung menepis fikiran buruknya. Ia yakin anaknya tidak pengecut. Ray sangat bertanggung jawab.

     Tante Ina kembali melihat alamat, yang ia kirimkan ke anaknya, membacanya berulang-ulang dan lebih teliti, takut ada yang salah. Tapi, alamat yang dikirimkan pada Ray memang benar adanya. Mencoba menelfon, handphone Ray tidak aktif.

     Tidak ada selintas fikiran buruk yang tersirat di benak tante Ina. Mereka meneruskan obrolan ringan, seraya menunggu kadatangan Ray, dan Shasha. Calon pengantin?

     Sampai satu jam telah terlewatkan, yang ditunggu-tunggu belum juga menunjukkan batang hidung mereka. Ke khawatiran mulai memenuhi lubuk hati masing-masing orang disana. Berharap was-was, mencoba menepis setiap fikiran buruk yang menghinggap. Ini sangat mengganggu.

     Kreek!?

     Refleks, semua menoleh bersamaan saat mendengar suara pintu utama terbuka, tapi sosok yang muncul tidak sesuai dengan harapan mereka. Pak Joko, tanpa sengaja menyenggol pintu hingga terdorong membuka. Dia tukang kebun rumah ini, pak Joko meminta maaf, lalu pergi menyelesaikan pekerjaannya kembali.

     Tampak jelas sudah, wajah ketegangan mereka, ditambah dengan ketidak aktifan handphone Ray dan Shasha. Kenapa keduanya sangat kompak membuat semua orang khawatir???

     "Kata teman Shasha, dia sudah lama berpisah, sejak dua jam yang lalu." Ujar Dava, setelah menanyakan pada teman adiknya. Perkataan Dava, memunculkan berbagai macam perkiraan yang tak ingin terjadi. Kaburkah adiknya ini?

     Shasha kan tengil. Batin Dava.

      Kemana mereka berdua? Ray, masih ada kemungkinan untuk nyasar. Sedangkan Shasha, apa yang membuatnya pulang begitu lama.

     "Apa Ray masih ada meeting, Pi?" Tanya tante Ina, mencoba tetap posthink.

     "Kata sekretarisnya, Ray juga sudah lama selesai." Ujar om Ramma, masih tampak tenang.

     Sedetik kemudian. Handphone om Ramma berbunyi, tertulis deretan nomer tak dikenal dilayar handphonenya. Om Ramma menerima telfon, sedikit menjauh, takut penting dari kolegan bisnisnya. Walau semua perusahaan sudah beralih ke tangan Ray, tapi om Ramma tetap memegang secuil perusahaan, agar ada kerjaan, tidak menganggur di rumah.

     Bosen juga, saat orang yang terbiasa sibuk tanpa istirahat yang cukup, tiba-tiba tidak melakukan apapun. Dapat menimbulkan stress yang berkkhir dengan hilangnya fikiran waras, kata lainnya 'gila'.

     Bersamaan dengan om Ramma menerima telfon, handphone Dava juga ikut berbunyi. Dava segera mengangkatnya. Juga, dari nomer tak dikenal. Om Ramma dan Dava, sama-sama mengakhiri panggilan. Ntah, kebutulan dari mana. Wajah keduanya menunjukkan ekspresi yang sangat jelas terbaca. Terkejut plus sedih.

     "Ada, apa?" Tanya grand Mom dan tante Ina.

     "Shasha kecelakaan, masuk rumah sakit!"

     "Ray kecelakaan, Mi!" Ujar Dava dan om Ramma hampir berbarengan. Sama panik nya.

     Kecemasan mereka terjawab sudah, dengan langkah tergesa semuanya menuju rumah sakit yang sama. Sepanjang perjalanan, tiada henti merapalkan segala macam doa untuk keselamatan keduanya. Menurut informasi yang didapat lewat telfon tadi, keduanya mengalami kecelakaan dengan kondisi yang sama memprihatinkan. Keduanya, kritis.

     Ya, dua korban kecelakaan tadi adalah,

     Ray, dan......sang penolong anak kecil itu, sudah dapat di tebak. Ia adalah, Shasha yang baru saja menyelesaikan tugas kelompok dengan teman-temannya.

     Begitu malang nasib, keduanya. Apa ini pertanda baik? Atau malah sebaliknya, pertanda buruk? Pertemukan kedua mereka dengan cara seperti ini.

     Sedangkan, pertemuan awal mereka diliputi kecanggungan dan kebencian. Tanpa ada yang menyadari dua hal itu.

***

     Grand Pa, grand Mom, om Ramma, tante Ina, Dava, dan seorang ibu yang anaknya telah diselamatkan atas pertolongan Shasha. Mereka semua, menunggu didepan ruang ICU. Bude tidak diperbolehkan ikut, mengingat bude yang sedang hamil tua.

     Kedua orang di dalam sana tengah bertarung mempertahankan nyawa, kabar terakhir keduanya sangat membutuhkan banyak stok kantong darah, sedangkan pihak rumah sakit hanya memiliki sedikit persedian stok kantong darah yang cocok. Takdir, golongan darah keduanya sama.

     "Saya goldar A, sus. Mungkin bisa dicoba!" Tawar ibu dari anak yang ditolong Shasha, saat seorang suster datang menanyakan goldar yang sama dengan kedua pasien di dalam.

     "Tidak perlu, saya juga sama." Cegah Dava, ia mempunyai goldar O yang netral ke semua Goldar, tapi goldar O tidak bisa menerima tranfer darah kecuali sesama goldar O. Kasihan sekali.

     Sempat terjadi perdebatan singkat, tentang siapa yang akan mendonorkan darah untuk kedua orang itu, suster menengahi, karena waktunya tidak banyak, jika terlalu lama mencari pendonor darah, bisa jadi nyawa keduanya menghilang dari raga.

     Pada akhirnya, ibu tadi dan Dava bersamaan menyumbangkan darah mereka. Toh, katanya masih membutuhkan banyak persedian kantong darah. Jika kelebihan, bisa disumbangkan ke rumah sakit, bermanfaat bagi orang yang membutuhkan. Yang namanya bersedakah, tidak ada yang rugi.

     "Baik, mari ikut saya, akan saya periksa kesehatan kalian. Apakah memenuhi syarat prosedur seorang pendonor darah." Ujar suster.

Lihat selengkapnya