Ini sungguh membosankan, Shasha sudah menghabiskan lebih dari lima botol bir, tapi dirinya belum juga mabuk. Musik yang berdentum lebih dari 20 Hz, memecahkan gendang telinga. Shasha memijat-mijat pangkal hidungnya. Apa masalahnya sekarang? Tidak ada, ia hanya ingin nge-flay.
"Muka lo udah merah gitu. Lo dah mabuk, Sha. Berhenti minum!!!" Teriak Rachel suaranya tertelan oleh dentuman lagu. Berniat merampas bir milik sahabatnya, Shasha sigap mencegahnya.
"Gue lagi pingin merayakan kebebasan hidup gue. Sekarang dirumah gak ada orang, semua sudah pergi. Hahahaha....." Racau Shasha, tatapannya berubah sendu mengingat grand Pa, grand Mom, dan Abangnya sudah balik ke England.
Dasar menyebalkan!
"Arghhhh!!" Shasha mengacak rambutnya sendiri. Frustasi.
"Kenapa lo gak ikut aja, dari pada harus nyiksa batin lo kayak gini?" Nafisah prihatin. Meneguk kembali birnya. Ia sudah mulai mabuk.
Shasha menggeleng. "Gue gak bisa." Sedihnya.
"Kenapa?" Tanya Afifah yang sama sekali tidak mabuk. Mereka sengaja menunjuk satu orang diantara mereka agar tidak ikutan mabuk, agar bisa pulang dengan selamat.
"Karena-" Belum sempat Shasha menyelesaikan kalimatnya, ia sudah terseret ke alam bawah sadarnya. Teler.
"Dia sudah terlalu mabuk." Ujar Afifah.
Nafisah dan Rachel mengiyakan. "Sebaiknya pulang, aja." Ujar Rachel, juga mulai teler. Pandangannya sedikit berkunang.
Nafisah memapah Shasha agar berdiri tegak dan bisa berjalan, Afifah membantu Rachel yang sudah sempoyongan. Mereka keluar dari club. Saling membantu.
"Lepas!" Tiba-tiba Shasha memberontak, Nafisah yang tak bisa menghalanginya membiarkan Shasha berjalan sempoyongan, tak jarang Shasha tersungkur ke tanah.
"Sha, lo mau kemana?" Tanya Nafisah.
"Berisik!" Shasha tak menggubris omongan sahabatnya, terus berjalan hingga ia tak menyadari sudah berada di tengah-tengah jalan raya.
Dari kejauhan sinar lampu mobil menyorot tubuh mungil Shasha, mobil itu melaju dengan kecepatan yang gak bisa di bilang pelan juga. Shasha tidak beranjak, tatapannya sendu, air matanya mengalir membasahi pipi. Ia tak menyadari bahaya mengintai. Fikiran normalnya sudah buntu untuk sekedar memikirkan keselamatan dirinya. Tapi, Shasha benar-benar tidak niat mencelakakan diri sendiri. Sungguh. Ia sepenuhnya dalam pengaruh alkohol.
"Shasha!!!" Pekik Afifah, membiarkan Rachel tergeletak diatas tanah. Berlari menuju Shasha.
Semoga sempat!?
***
Jam sudah menunjukkan 01.00 dini hari, Ray baru saja pulang dari apartemen Fiko. Sebenarnya Fiko sudah menawarkannya menginap, tapi Ray sudah terlanjur janji, akan pulang pada Mami. Jadi, jam berapapun Ray harus pulang sesuai janjinya.
Ray mempercepat lajunya, ia sudah sangat mengantuk ingin cepat-cepat di peluk guling, dan merasakan kehangatan selimut.
"Coba lo nikah, pasti lo gak butuh guling dan selimut kesayangan lo itu. Lo bakal lupa, karena ada yang lebih nyaman dari benda mati."
Ray tersenyum mengingat ucapan mengejek Fiko. Kenapa tiba-tiba ia ingin menikah? Sekelebat bayangan bocah kemaren yang menolaknya muncul tanpa diundang. Ray menggeleng-geleng, memfokuskan kembali pada jalanan.
Senyumnya juga belum luntur mengingat wajah lugunya yang sok nakal. Astaghfirullah, mikir apaan sih. Gerutu Ray.
"Shasha!!!" Pekik seseorang membuatnya tersadar, ada orang berdiri tepat didepan arah mobilnya melaju.
Ciiiitttttttt.
Ray langsung menginjak pedal rem. Mendadak, membuat tubuh Ray sedikit terhempas ke depan, sejengkal lagi cewek di depannya ini sudah menjadi santapan mobil Ray. Untung saja Ray sedang tidak menggunakan Ac dan membuka sedikit jendela mobilnya, jadi suara yang di luar terdengar cukup jelas.
Ray turun dengan muka di tekuk, ia paling benci orang bunuh diri, apalagi dengan cara menabrakkan diri begini. Huh!
"Kalau mau bunuh diri jangan di jalan. Nyusahin orang! Sana langsung ceburin diri aja, biar gak ada yang kena imbas dosanya!!!" Cecar Ray penuh penekanan, dan emosi.
Cewek itu bergeming.
"Hey! Lo dengerkan?!!" Bentak Ray. Tegas. Kesal.
Cewek itu, membalikkan tubuhnya menghadap Ray. Tatapannya sendu. Bola matanya memancarkan keputus asaan. Kosong.
"L-lo..... lo nangis?" Ray cukup terkejut mendapati cewek di hadapannya adalah cewek yang sama dengan yang di lamarnya tempo hari, sekaligus yang sudah menolaknya mentah-mentah.
Shasha langsung berlari dan memeluk Ray, menangis dalam pelukan Ray. Seketika tubuh Ray menegang, suhu tubuhnya menjadi panas dingin. Terserah orang mau bilang apa, karena sejatinya ia baru pertama kalinya dipeluk cewek selain mahrom-nya (Orang yang tidak bisa di nikahi, seperti ibu)
Afifah menghentikan langkahnya, bingung dengan situasi dan kondisi yang ada.
Ray melepas paksa pelukan Shasha. "Lo apa-apaan, main peluk-peluk orang!!!" Kesal Ray, mendorong tubuh Shasha. Kasar.Mata Ray menatap Shasha dengan tatapan membunuh. Tajam.
Shasha mencoba berdiri tegak, menatap tepat ke arah manik mata Ray yang segelap malam, kembali air matanya keluar. Sendu.
"Kenapa semua orang ninggalin gue, hah?" Racau Shasha, kembali mendekati Ray.
Ray melangkah mundur, Shasha terus maju mendekat, hingga punggung Ray membentur pintu mobilnya. Jalan buntu.
"Semuanya jahat! Gue gak suka sendirian, gak ada yang faham, ya!!! Pa... ma..., Shasha rindu kalian." Dada bidang Ray menjadi pelampiasan Shasha, terus memukul menumpahkan rasa kesalnya.
Kesal, terpaksa Ray mencengkram pergelangan tangan Shasha. Kuat. "Berhen-"
Cup.
Tak sengaja Shasha sudah mengecup singkat bibir Ray, Shasha sepenuhnya dalam keadaan mabuk. Spontan Ray mengusap bibirnya kasar, jijik. Dosakah ia?
"Gue akan nikahin lo!" Tegas Ray tanpa ada bantahan ataupun kalimat larangan, sayangnya Shasha tidak akan mendengarkan.
Shasha sudah tersungkur ke tanah, kesadarannya lenyap.
Ditempat ini selain Ray, hanya Afifah yang sepenuhnya dalam keadaan sadar seratus persen. Ray menatap Afifah yang masih melongo dengan kejadian barusan, ia tak percaya Shasha senekat itu, walau Shasha nakal sahabatnya tidak akan berani melakukan kontak apapun dengan lelaki. Pengaruh alkohol memang sangat mengerikan.
"Bawa teman lo pulang." Perintah Ray dengan muka datarnya.
Afifah mengangguk kikuk. Sumpah, ini cowok cool banget!!!
Ray meninggalkan Shasha, memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia ingin segera meninggalkan tempat terkutuk tadi.
Membayangkan kejadian yang baru saja menimpanya membuat bulu kuduknya meremang. Ray memukul setir kesal, mengambil tissue mengelap kasar pada bibirnya. Bekasnya tak kunjung menghilang. Bagaimana ini???
Yalllah, sesungguhnya engkau Maha pengampun dan Maha mengetauhi yang haq atau yang bathil. Tadi itu benar-benar tak sengaja, ampunin dosa hambamu ini! Doa Ray, ia benar-benar takut dilaknat oleh Allah swt karena telah melakukan zina, walau hakikatnya tadi itu tak sengaja.
Dari Anas ra. Ia berkata, "Rasullah saw bersabda : Iman adalah pakaian yang di pakaikan Allah swt kepada siapa yang Dia kehendaki. Apabila seorang hamba itu berzina, maka Allah swt mencabut pakaian iman itu darinya, jika ia bertaubat maka dikembalikanlah kepadanya."
Zina mata adalah pandangan, zina lidah adalah ucapan, zina tangan adalah pegangan, zina kaki adalah langkah, zina telinga adalah pendengaran, jiwa itu berangan-angan dan bernafsu, dan kemaluan itu membenarkannya atau mendustakannya.
***
Astaghfirullah, pagi ini Ray bangun sangat kesiangan. Setelah menunaikan sholat shubuh, ia langsung mengikuti hawa nafsunya untuk terlelap tidur kembali. Mengingat semalaman Ray susah tidur, membayangkan......
Arrghhh...!!! Kenapa kejadian itu terus mengusiknya, mengganggu ketenangannya.
Ray turun dari lantai kamarnya menuju ruang makan. Di meja makan, sudah ada Papi Mami yang tengah sarapan dengan ketenangan. Mami menghentikan suapannya, melihat anaknya baru saja turun.
"Tumben kamu telat, Ray. Semalam emang pulang jam berapa?" Tanya Mami.
"Dini hari." Ujar Ray singkat.
"Emang ngapain aja di apartemen Fiko, kamu gak macem-macem kan sama dia, Ray?" Nethink Mami.
Ray hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Mami ada-ada saja." Itu suara Papi.
Mami tersenyum kecut. "Salah apa aku Tuhan, mengapa engkau takdirkan hidupku memiliki anak patung hidup!?" Mami puitis, mencoba berdramatisir.
"Takdir." Ujar Papi. Tersenyum.
Mami menggelengkan kepala, ikutan tersenyum. Menatap Ray dengan tatapan keibuan.
"Mi, Pi." Panggil Ray.
"Hhm." Sahut papi.
"Ada apa, sayang?" Respon Mami, jauh berbeda dari Papi.
Sebelum melanjutkan perkataannya Ray menghela nafas sejenak, ini keputusannya yang paling benar dari pada ia harus dikejar-kejar zina fikiran. Iya, kan?
"Ray akan menikah." Ujar Ray valid.
"Alhamdulillah." Syukur Papi Mami bersamaan.
Ray mengernyitkan dahi bingung, sepertinya respon kedua orang tuanya berlebihan. Menurutnya.
"Senang banget, Mi." Ledek Ray.
Mami tersenyem, mengangguk seperti anak kecil. "Tentu saja, sayang. Itu berarti perkiraan Mami selama ini salah tentangmu."
"Perkiraan?" Beo Ray.
"Mami itu-"
Mami langsung memotong penjelasan Papi. "Sudahlah gak penting, emang gadis mana yang mau anakku pinang?" Tanya Mami mengganti topik pembicaraan. Senyumnya mengembang semakin lebar.
"Gadis kemaren, anak sahabat Papi Mami." Tutur Ray menjelaskan.
Papi Mami saling tatap satu sama lain. Bingung.
"Bukannya sudah ditolak." Ujar Papi.
"Biarkan sajalah Pi, perasaan itu dapat berubah. Itu menandakan Ray bukanlah seorang gay." Ceplos Mami.
"Gay." Beo Ray.
Mami mengibaskan tangan ke udara kosong, "Sudah, sudah, sudah Ray sudah telat berangkat kerjanya, kan?" Mami tak ingin lebih lanjut membahasnya, kalau selama ini dirinya sudah memata-matai Ray untuk menghilangkan firasat buruknya.
"Ray belum sarapan, Mi. Mau sarapan dulu." Ray mengambil sepotong roti, memakannya dengan tenang. Tak peduli.