Bab 1: Menara Harapan
Angin malam berdesir di sepanjang jalan kecil di pinggiran kota. Di tepi jalan, rumah-rumah sederhana berderet rapi, dan satu-satunya cahaya yang terlihat adalah dari jendela rumah keluarga Malik. Malik, seorang pemuda berusia 23 tahun, duduk di meja kecil di sudut ruangan dengan sehelai kain peludung berwarna cokelat yang mengelilingi pinggangnya. Dia menatap dengan penuh perhatian ke tumpukan uang logam di depannya, menghitung dengan teliti setiap kepingannya.
"Sekarang hanya cukup untuk makan selama seminggu lagi," gumam Malik dalam hati. Keluarganya telah bergantung padanya sejak kematian ayahnya yang tiba-tiba beberapa bulan yang lalu.
Ketika ibunya, Elena, masuk ke ruangan, ekspresi khawatir melintas di wajahnya. "Malik, apakah kita masih punya cukup makanan?" tanyanya.
Malik mencoba tersenyum. "Jangan khawatir, Ibu. Aku akan mencari cara untuk mendapatkan lebih banyak uang."
Di balik senyumannya, Malik merasa tertekan. Dia telah berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan, tetapi kesempatan selalu terlewatkan begitu saja. Kegelapan dan ketidakpastian mengerumutinya seperti bayang-bayang malam ini.
Keesokan paginya, Malik pergi ke pusat kota dalam pencarian pekerjaan. Dia mencoba berbagai tempat, dari toko-toko kecil hingga perusahaan besar. Namun, pintu selalu tertutup di depannya, dan kata "tidak ada lowongan" seperti mantra yang terus bergema di telinganya.