Malam ketika Bapakku ditangkap polisi, aku sedang merayakan hari ulang tahun yang ketujuh belas. Saat itu, di rumahku sedang ada pesta yang dihadiri teman-teman sekolah, balon-balon dan kertas jagung berwarna-warni dipasang di sudut-sudut ruangan, dan kue ulang tahun yang berisi lilin dengan angka 17 di atasnya sudah siap ditiup. Namun, momen itu tidak pernah terjadi, karena polisi datang dan membawa pergi Bapakku sebelum acara tiup lilin dimulai. Pesta bubar, dan momen itu menjadi penanda tak terlupakan, dimulainya masa-masa suram dalam hidupku.
Saat itulah, aku mulai berhenti tersenyum.
Besoknya, di sekolah, ada sesuatu yang aneh dengan tatapan teman-temanku. Mereka juga tidak mau dekat-dekat denganku. Padahal semalam mereka masih menyukaiku, namun pagi itu semuanya berubah. Dan samar-samar aku mendengar mereka tidak lagi memanggilku Windy, aku punya sebutan baru. Si anak koruptor. Itu hari yang berat, aku harus mati-matian menahan tangis yang sudah menggantung diujung mata. Ditambah saat pulang, rumahku disita polisi. Seharian aku jongkok di depan pintu gerbang, tidak bisa masuk karena pintu itu disegel garis plastik berwarna kuning. Beberapa tetangga yang lewat memandangku dengan tatapan yang sama, jika dulu mereka menyapa dengan ramah sambil tersenyum, sekarang mereka menatapku seolah sedang berhadapan dengan anak anjing kudisan yang punya penyakit menular atau semacamnya. Sebelum akhirnya Ibu dan Naya datang menumpang taksi, dan membawaku ke rumah baru.
Sebenarnya bukan rumah baru, tapi hanya sebuah kamar kos-kosan yang terletak di salah satu kawasan kumuh Kota Jakarta. Aku, Ibu, dan Naya, tidur dalam satu kamar. Ibu dan Naya tidur di kasur. Aku di lantai, beralaskan kardus bekas. Membuatku semalaman tidak bisa tidur. Aku rindu kasur di kamarku. Empuk dan wangi. Kardus bekas itu membuat punggungku sakit.
Tidak banyak barang yang ada di kamar itu, hanya sebuah tempat tidur, dan tiga buah kardus besar berisi pakaian. Itu saja. Aku bahkan tidak punya sikat gigi. Dan semalaman, aku hanya berbaring di atas kardus, yang sebenarnya sama sekali tidak membantu mengatasi dinginnya lantai.
Sambil memandangi langit-langit kamar, aku menggigiti bibir agar tidak menangis. Aku rindu Bapak. Ibu belum cerita apa pun tentang beliau. Namun, aku tidak berani bertanya, karena kemarin malam aku sempat bertanya, dan Ibu malah menangis semalaman. Semuanya begitu kacau. Ummm, belum semuanya sih, karena saat itu, aku masih punya pacar yang menyayangiku.
Sayangnya, seminggu kemudian, pacarku juga minggat. Aku diputusin lewat SMS. Mungkin dia malu pacaran dengan anak tersangka korupsi. Atau karena aku sudah tidak punya uang lagi untuk membiayai keperluannya yang tak habis-habis. Mulai dari membayar handphone baru beserta pulsa-pulsanya, service mobil, bahkan beli celana dalam. Dulu, aku tidak pernah keberatan membiayainya. Uangku banyak. Tapi sekarang, dia pergi. Dan aku menerima kenyataan itu dengan ikhlas, walaupun dalam hati, aku ingin sekali membunuhnya.
Dan begitulah, hidupku terus berjalan. Aku pindah sekolah, mulai membiasakan diri naik angkutan umum atau naik ojek atau jalan kaki, karena sudah tidak ada lagi supir yang mengantar, dan selain itu kami juga tidak punya mobil. Di sekolah, aku sering kelaparan dan kehausan. Ibu tidak pernah memberiku uang jajan yang cukup. Tapi aku maklum, karena beliau memang tidak punya uang. Baru sebulan setelah pindah sekolah, Ibu memberiku uang bekal yang tak seberapa, beliau sudah mendapat pekerjaan menjadi terapis di sebuah spa.
Saat tamat SMA, keinginanku untuk kuliah terpaksa diundur karena tidak ada biaya. Gaji Ibu hanya cukup untuk menyewa kamar kos dan membayar uang sekolah Naya. Jadi, aku memilih untuk bekerja. Bermacam-macam pekerjaan pernah kucoba. Dengan ijazah SMA, tidak banyak pilihan bagiku. Dan pekerjaan terakhirku waktu itu adalah kasir mini market.
Semuanya berjalan menyedihkan, sampai suatu kejadian mengubah hidupku. Aku bertemu seorang laki-laki yang menyukaiku, dan sejak itu, pelan-pelan semuanya terasa menuju ke arah yang lebih baik. Untuk sementara, sebelum hidupku kembali kacau.
***
Aku mengenal Jo pada hari pertama bekerja di mini market 24 jam. Sejak itu, kami berteman. Dulu, dia adalah rekan kerjaku, tapi sekarang sudah berhenti kerena dia melanjutkan kuliah. Jo adalah cowok yang baik. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, dia sering mengajakku jalan-jalan. Dan setiap kali ada kesempatan, Jo akan bertanya. "Windy, mau nggak jadi pacarku?"
Dan aku akan menjawab. "Nggak."
Sudah berkali-kali Jo menanyakan itu, dan berkali-kali juga aku menolak. Bukan karena dia jelek atau apa. Jo anaknya lumayanlah. Wajahnya lonjong, dengan bibir tipis, dan memiliki senyum yang mampu melelehkan hati. Tatapannya sejuk, matanya dilengkapi bulu mata panjang-panjang dan alis yang tebal. Dan seperti hampir semua orang yang kukenal, Jo lebih tinggi dariku. Tinggiku hanya sebatas bahunya, membuatku harus sedikit menatap ke atas jika ingin berbicara dengannya. Iya, dia manis. Masalahnya, prioritasku saat ini bukan tentang cinta-cintaan. Aku mau mencari uang untuk kuliah. Pokoknya sebelum aku menjadi tua dan terlalu rabun untuk bisa membaca, aku harus kuliah. Lalu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan jika sudah punya uang, aku ingin membeli rumah lamaku. Bagaimanapun, semua kenangan masa-masa indahku—sebelum semuanya berantakan, ada di sana. Aku tidak mau terlalu lama bekerja sebagai kasir di mini market. Sejauh ini sudah hampir tiga tahun.
Sebelumnya, aku bekerja berpindah-pindah. Aku pernah kerja di konter handphone, menjadi waitress di restoran, pernah juga menjadi sekretaris di sebuah agensi model. Namun, aku berhenti karena gajinya kecil. Setelah itu, aku juga sempat kerja di sebuah kafe, sebagai pegawai administrasi. Tidak lama juga, satu tahun, lalu berhenti karena jam kerjanya terlalu panjang. Dari pukul 6 pagi sampai 11 malam. Sejak berhenti dari kafe itu, aku menganggur selama enam bulan, sebelum Ibu mulai risih melihatku cuma tidur-tiduran, menghabiskan makanan dan tidak membantu mencari uang. Adikku juga minta dibelikan handphone baru, karena di antara teman-temannya, hanya dia yang masih menggunakan handphone peninggalan zaman kolonial Belanda.
Jadi, terpaksa aku bekerja menjadi kasir di mini market.
Untuk sementara, tidak ada cinta-cintaan. Dan kalaupun aku ingin mencari pacar, setidaknya harus yang sudah mapan. Biar bisa langsung kawin, dan mampu membiayai kuliahku. Tapi, belum ada laki-laki semacam itu yang mau padaku. Yang ada hanya si Jo itu saja. Cowok manis tapi kere.
"Windy!" Teriak seseorang dari belakang sambil menepuk kedua bahuku.
Aku yang melamun sambil terkantuk-kantuk di belakang meja kasir langsung tersadar sepenuhnya. Lalu menoleh ke belakang dan menemukan si cowok manis tapi kere itu. Jo sedang terkekeh menatapku.
"Bisa nggak sih, sehari aja lu jadi manusia yang nggak menyebalkan?" Tanyaku penuh emosi.
"Bisa, kemarin misalnya."
Aku menaikkan sebelah alis. "Iya, kemarin adalah hari yang paling tenang dalam hidup gua, karena lu nggak mampir ke sini!"