Sesuai janji, saat makan siang, aku menemui Mita di restoran seberang mini market. Dan dia mulai menjelaskan pekerjaannya. Aku langsung kaget ketika dia selesai bercerita.
"Ha? Maksud lu jual diri?" Teriakku kencang.
Mita langsung meletakkan jari telunjuk di bibirnya. "Sstt."
Padahal di restoran itu tidak terlalu banyak pengunjung, tapi tetap saja Mita tampak panik. "Bukan, bukan, gua cuma dibayar untuk menyenangkan laki-laki."
"Sama aja!"
"Tapi lu bisa punya penghasilan untuk kuliah. Bahkan nanti buat nguliahin Naya, adik lu itu. Dan ibu lu nggak perlu kerja keras lagi. Lu bisa nyewa rumah atau dalam beberapa tahun bisa beli rumah. Bahkan mungkin bisa beli rumah lama lu itu." Ujar Mita. Dia memang sudah tahu tentang keadaan keluargaku.
Selama sedetik, aku sempat berpikir, bisa membeli rumah lamaku. Itu akan sangat menyenangkan. Namun, aku menggeleng kuat-kuat. "Nggak, nggak mau."
"Yakin?"
"Hm, yakin."
Mita tampak tak yakin, sama tak yakinnya dengan caraku menjawab tadi. Lalu dia mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompet. "Hubungi gua seandainya lu berubah pikiran." Ujarnya. Lantas berdiri dan berjalan ke meja kasir.
Setelah itu, Mita memelukku dan berpamitan, lalu kembali ke mobil Jazz merahnya yang terparkir di depan restoran. Dulu, aku juga punya mobil seperti itu, cuma warnanya kuning. Sekarang ke mana-mana, aku naik ojek berhelm kuning.
***
Sore hari, sekitar pukul setengah enam, dua kamar kos kami mulai menunjukkan aktifitasnya kembali. Ibu bersih-bersih kamar, dan merapikan tempat tidur. Naya sedang mengerjakan PR, karena tidak punya meja belajar, dia bersimpuh dan membungkuk di lantai. Aku baru pulang dari mini market, membawa makan malam, dan menyajikannya di lantai kamar.
Makan malam kami, seperti biasa, terdiri dari satu bungkus nasi goreng, satu gelas air mineral. Sudah, itu saja. Ibu tidak pernah memasak, selain karena selalu sibuk, kami tidak punya dapur.
Seusai membereskan kesibukan masing-masing, dengan bungkusan nasi goreng menjadi pusat, kami bertiga—aku, Ibu, dan Naya duduk melingkar. Sambil mendengar radio dari handphone zaman Belanda milik Naya, kami pun mulai melahap nasi goreng itu.
Sekilas aku melirik Ibu dan Naya. Dulu, banyak yang bilang bahwa Ibu cantik, dan banyak juga yang bilang beliau mirip sekali denganku. Dan itu lumayan membuatku senang. Namun, lihatlah keadaan Ibu sekarang. Kurus, murung, dan tidak pernah tersenyum. Masih persis seperti aku.
Lantas, aku melirik Naya, adikku yang manis. Walaupun agak manja dan ceroboh dan cengeng, dan bisanya cuma nangis. Namun, kehadirannya membuat suasana rumah yang suram jadi sedikit ramai. Jika dibandingkan denganku, Naya jauh lebih enak dilihat. Dia lebih manis, lebih tinggi, dan lebih disayang semua orang. Termasuk aku.
Makanya, sejak Bapak dipenjara, dengan keadaan serba kekurangan, aku berusaha memberi Naya perhatian yang sama seperti ketika Bapak masih ada. Sudah hampir tiga tahun, sejak terakhir kali aku mengajak Naya mengunjungi Bapak. Tiga tahun waktu yang lama bagi seorang remaja. Mungkin bagi Naya, tidak ada bedanya jika Bapak dipenjara, atau sudah mati.
"Kak, sepatuku bolong." Itu kalimat pertama Naya seusai melahap nasinya.
"Iya, nanti kakak beliin yang baru."
"Aku mau yang Converse. Biar keren."
"Iya."