Malam minggu, selesai mandi dan berpakaian, aku duduk di beranda kamar kos. Memikirkan tentang cara mendapatkan banyak uang untuk membeli rumah lamaku. Saat itu, suasana kos sedang sepi. Hampir semua penghuninya sedang bermalam minggu, hanya suara jangkrik yang menemaniku.
Saat sedang asyik melamun, bunyi sepeda motor terdengar berhenti di depan pintu gerbang kos. Aku hafal suara motor itu, milik Jo. Dia pernah bilang akan merenovasi motor tua jeleknya itu. Namun, sampai sekarang motor itu masih tetap jelek.
Dan benar saja, tidak lama, cowok itu muncul dari pintu depan. Sambil tersenyum, Jo mengajakku nonton bioskop. Dan karena dibayarin, aku menerima tawaran itu. Lagi pula, aku butuh sedikit hiburan.
Setelah berpamitan dengan Ibu, dan Naya mengantar kami sampai depan pintu sambil senyum-senyum kepada Jo untuk mencari perhatian, aku dan Jo berangkat menuju bioskop. Aku duduk di jok belakang, dan memeluk pinggang Jo. Ketika motor melaju, udara dingin menerpa wajahku. Refleks, aku menutup kaca helm untuk menghindari debu. Jo mengendarai bebek tua jelek itu dengan kecepatan sedang, menerobos kerlap-kerlip lampu kendaraan lain.
Saat kami tiba di mall tujuan, suasana di lobinya lumayan ramai. Banyak anak muda yang sedang mengantri tiket, aku dan Jo ikut mengantri di salah satu antrian yang tidak terlalu panjang. Mungkin karena filmnya kurang menarik, semacam film komedi romantis low budget. Tidak lama, tiket pun sudah di tangan. Lantas, ketika kami duduk di lobi bioskop, Jo mulai menunjukkan tanda-tanda akan melakukan hobinya lagi.
"Win, ehem, aku..."
Aku memutar bola mata. "Udah deh, Jo. Dua bulan ini, sudah delapan kali."
"Tapi.."
"Masih banyak bintang di langit." Ujarku singkat.
"Iya, memang banyak." Sambar Jo. "Di kampus, ada dua cewek yang mengaku suka sama aku. Satu gembrot, satu lagi lebih gembrot."
Aku ingin tertawa tapi tidak bisa.
Jo menunduk. "Nggak ada yang kayak kamu, Windy."
"Lu suka yang kurus?"
"Nggak. Bukan karena kamu kurus. Kalau kamu gembrot, aku bakal tetap suka sama kamu."
Aku geleng-geleng kepala. "Nanti lu bakal ketemu cewek yang lebih baik dari gua."
"Kenapa sih? Lu nggak mau nerima gua? Gua kurang apa?"
"Nggak, lu nggak kurang apapun. Lu manis dan lu udah baik banget sama gua." Potongku cepat, sebelum Jo berkecil hati. "Gua juga suka sama lu, Jo. Tapi suka sebagai sahabat. Sekarang ini, gua nggak bisa jadi pacar lu."
"Kenapa?"
"Karena saat ini, bukan itu prioritas gua." Sahutku pelan. "Lu tau kan sejarah keluarga gua, Jo? Masih banyak yang harus gua kejar. Gua nggak mau mengabaikan lu. Pokoknya gua nggak bisa!"
"Iya, iya, gua ngerti."
Baru saja ingin menjawab, handphone-ku berbunyi. Saat kuperiksa, ternyata hanya misscall dari Naya. Begitu aku menelepon balik, malah tidak diangkat.
Jadi, aku kembali pada Jo. "Pokoknya jangan tembak gua lagi." Seruku tegas.
"Lu yakin?" Tanya Jo. "Nanti lu cemburu lagi kalo gua nembak cewek lain."
Aku menatap Jo datar. "Nggak bakal. Gua malah bahagia."
Jo hanya mengernyit, lalu terdiam. Aku juga diam. Kami berdua tetap seperti itu sampai pengumuman dari speaker terdengar di seluruh lobi, bahwa pintu wisata satu sudah dibuka.
Dan kami pun nonton berdua. Di dalam ruangan gelap itu, aku duduk di pojok dekat tembok. Jo di sebelahku, sesekali aku merasakan dia melirikku. Namun, aku tidak peduli, aku tetap memandang layar di depanku. Kami menonton film komedi tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Mirip kisah cinta Jo dan aku. Tidak heran, di waktu-waktu tertentu, ruangan teater meledak dalam tawa. Termasuk Jo yang sampai terpingkal-pingkal, mungkin merasa senasib dengan si tokoh utama.
Namun, aku hanya menatap layar itu dengan wajah datar, merasa lucu tapi tidak bisa tertawa. Karena sejak malam ketika Bapakku ditangkap polisi, kemampuanku untuk tertawa dan tersenyum sepertinya ikut hilang. Aku pun mulai mengantuk, dan hampir saja tertidur di bangku penonton. Untungnya, sebelum itu terjadi, filmnya tamat.
***
Selesai nonton, setelah jalan-jalan bersama Jo di sekitar mall, dia mengantarku pulang. Dan aku menemukan Ibu sedang tergeletak di lantai kamar, mungkin pingsan. Entahlah. Dengan bantuan Jo, Ibu diangkat ke tempat tidur.
"Ibu?" Aku mengguncang-guncangkan bahunya. Jo mengamati di sebelahku. Ikut panik.
"Apa perlu gua panggil ambulan?" Tanya Jo. Bertepatan dengan itu, Ibu langsung sadar.
"Ibu? Ibu kenapa?"