Senyum Windy

Ramayoga
Chapter #5

Empat

Besoknya, seharian aku menemani Naya yang terus-terusan menangis. Tangan dan kakinya sakit, katanya. Aku tidak tahu harus bagaimana, selain berusaha menenangkan adikku itu, berjanji bahwa malam nanti aku sudah mendapatkan uang dan besok dia akan menjalani operasi.

Saat hari semakin sore, hatiku semakin gelisah. Sekitar pukul enam, akhirnya aku pamit pulang, setelah sebelumnya meminta Jo untuk menemani Naya, dan dia langsung menyanggupi tanpa banyak protes. Jo bahkan belum sempat pulang dari kemarin. Aku jadi tersentuh, Jo menjaga Naya seperti adiknya sendiri. Lama-lama, mungkin cowok itu bisa membuatku jatuh cinta juga.

Setelah sampai di rumah dengan menumpang angkot, aku mandi dan sikat gigi, lalu memakai gaun biru muda itu. Gaun yang bagian pundak dan punggungnya terbuka, sangat pendek sehingga pahaku tampak menggoda.

Di depan cermin, aku terperangah sendiri menatap bayanganku. Bagus, penampilanku sudah mirip pelacur.

Karena tidak mungkin menumpang angkot dengan pakaian seperti ini, aku memilih berangkat dengan taksi menuju hotel yang dijanjikan. Sepintas, dari kaca spion tengah, bapak supir taksi itu sesekali melirik padaku. Aku cuek saja. Namun, begitu turun dari mobil, aku merasa benar-benar canggung. Belum pernah aku memakai pakaian yang kainnya sesedikit ini.

Ketika aku melangkahkan kaki ke lobi hotel, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menerpa kulitku. Dan hidungku menghirup aroma lemon yang segar. Lobi itu tidak terlalu ramai, namun kurasakan beberapa pasang mata langsung menatapku. Aku menunduk sambil terus berjalan, menatap lantai marmer berwarna coklat muda yang tampak berkilau dan bebas debu. Di tengah lobi, ada rangkaian marmer yang disusun berbentuk lingkaran, dengan warna coklat muda dan coklat tua, menyerupai bunga matahari.

Dengan langkah tergesa, aku langsung memasuki lift. Di dalam, sudah ada seorang bapak-bapak yang kurasakan terus-terusan melirikku. Aku jadi agak risih. Untungnya, pintu lift terbuka, lalu buru-buru aku berjalan keluar.

Di lorong hotel, pintu-pintu kamar berjejer. Aku berjalan sambil menyusuri pintu-pintu itu, melangkah di atas karpet berwarna biru, dengan aksen emas yang berukir di atasnya. Dengan teliti, seperti seorang pembeli yang hendak mencari barang di rak dagangan, aku mengamati setiap nomor yang terpasang di pintu. Mencari nomor kamar sesuai dengan yang ada di kertas catatan. Sambil mencari, aku mengira-ngira seperti apa lelaki yang sudah menungguku. Aku mencoba berpikir positif, tapi tidak bisa. Biasanya, laki-laki yang mampu membayar mahal untuk cinta satu malam semacam ini, pasti sudah tua, perutnya buncit, dan kekurangan kasih sayang istri.

Dan ketemu. Kamar nomor 69.

Dengan dada berdebar, setelah menghela napas berkali-kali, aku mengetuk pintu kamar itu. Tidak lama, pintu pun terbuka. Dan aku dibuat bengong, tebakanku salah. Laki-laki di hadapanku memang sudah berumur setengah baya, namun wajahnya tidak jelek, bahkan cendrung, ummm, bisa dibilang lumayan tampan. Meski sudah banyak kerutan di wajahnya. Dia membuka pintu sambil tersenyum, tapi tidak benar-benar tersenyum. Hanya sudut kiri bibirnya yang sedikit terangkat.

Begitu pintu dibuka sepenuhnya, napasku tertahan. Laki-laki asing itu hanya memakai handuk yang menutup bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah. Dan perutnya sixpack, dengan dada bidang, dan ada bulu-bulu halus dari dadanya menuju pusar dan terus ke bawah. Aku berani taruhan, dia pasti rajin pergi ke gym. Kalau tidak, mana mungkin badannya sebagus itu. Mungkin usianya sudah lima puluhan tahun. Namun, masih jelas terlihat sisa-sisa kegantengan di masa mudanya dulu.

"Ayo, masuk." Ujarnya. Takut-takut, aku melangkah melewati pintu kamar.

Lihat selengkapnya