Setelah adikku pulang, dan boleh dirawat di rumah, aku kembali bekerja di mini market. Uangku masih tersisa sedikit, cukup untuk menyewa dua kamar kos selama setahun penuh, bahkan kalau mau aku bisa menyewa rumah yang lebih besar.
Sambil duduk di meja kasir menunggu pembeli datang, akhirnya aku mulai bisa merasa tenang. Semua masalah sudah mulai mereda, dan aku ingin kembali ke hidupku yang biasa-biasa saja.
Saat itulah pintu masuk terbuka, dan seorang laki-laki menghampiriku.
"Selamat pagi, Bapak. Selamat datang di..." Kalimatku terhenti. Aku mengenali wajah itu. Laki-laki yang berdiri di hadapanku adalah laki-laki sama yang kutemui di kamar hotel sebulan yang lalu. Tidak mungkin aku lupa, dia adalah laki-laki terkutuk di malam terkutuk itu. "Eh?" Saking kagetnya, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
"Iya, ini saya." Sahutnya tenang.
Hening.
Selama beberapa detik itu, aku cuma bisa bengong. Merasa dan berharap ini cuma mimpi. Tidak seharusnya laki-laki itu ada di tempat kerjaku. Seharusnya malam itu adalah pertemuan pertama dan terakhirku dengannya. Namun, sekarang—entah bagaimana caranya, dia berhasil menemukanku. Dia benar-benar ada di depanku.
"Dengar..." Ujar si laki-laki memecah keheningan. "Sejak malam itu, saya tidak bisa berhenti memikirkanmu..."
"..."
"Dan mungkin... Saya sudah jatuh cinta sama kamu."
"..."
"Jika kamu mau jadi perempuan yang selalu ada setiap saya butuhkan. Saya janji, kamu tidak perlu bekerja di tempat ini lagi. Dan semua kebutuhanmu dan keluarga akan saya tanggung." Tuturnya sambil menatap mataku. Aku masih diam saja seperti patung, takut-takut membalas tatapannya. "Kalau kamu mau. Besok datang ke kantor saya pukul sembilan pagi. Saya akan menunggumu di sana, Windy." Laki-laki itu meletakkan sebuah kartu nama di meja kasir. Dan aku kaget dia masih mengingat namaku. Siapa namanya? Aku saja sudah lupa.
Lalu laki-laki itu berbalik dan menghilang setelah melewati pintu mini market yang menutup. Buru-buru aku berlari menuju pintu kaca itu dan melihat keluar. Laki-laki itu masuk ke mobil Ferrari berwarna hijau. Lalu pergi.
Dengan linglung aku berjalan kembali ke meja kasir. Mengambil kartu nama itu dan membaca tulisan di atasnya. Hanif Hartono, itu namanya. Dan semuanya terasa kembali kacau.