Setelah kunjungan tak terduga itu, aku memutuskan untuk pindah kos. Dengan uang yang masih tersisa, aku menyewa sebuah rumah untuk dua tahun. Kosku yang lama terasa tidak aman (si laki-laki terkutuk bisa muncul kapan saja). Dan aku juga membeli sebuah motor Scoopy.
Setelah pindah ke rumah baru, adikku punya kamar sendiri. Begitu juga dengan Ibu dan aku. Kami punya dapur dan dua kamar mandi. Kami juga punya halaman. Dengan suasana yang baru, perlahan, keadaan Naya mulai membaik. Dengan bantuan tongkat, adikku itu sudah bisa berjalan, walaupun jaraknya tidak boleh terlalu jauh. Setidaknya, dia sudah terlihat sedikit ceria.
Sudah hampir sebulan Naya tidak sekolah, dia hanya berbaring di kamar kos, masih harus dibantu berjalan ke kamar mandi. Dan dua kali seminggu, harus menjalani terapi di rumah sakit.
Supaya tidak ketinggalan pelajaran, beberapa temannya datang untuk membawa buku catatan. Selain semua itu, segalanya tentang Naya hampir sama, dia masih anak manja yang cengeng, masih merengek minta ini itu. Hampir tidak ada bedanya seperti saat dia sehat. Seharian, aku sudah seperti pembantu pribadi. Membuatkannya sarapan, mengipasinya jika kepanasan, dan tentu saja, membelikannya handphone baru.
Kalau Naya sudah tertidur, aku mulai menggambar. Kadang aku menggambar karikatur wajah Naya, dan juga Jo (jika dia main ke rumah), atau mukaku sendiri. Kadang aku menggambar wajah beberapa artis terkenal. Misalnya, Tom Cruise, Brad Pitt, atau Mr. Bean.
Sorenya, saat Ibu sudah pulang. Jo mengajakku jalan-jalan ke kafe dekat rumah baruku. Katanya, ada pertunjukan live music. Tentu saja aku menyanggupi, aku sudah bosan seharian mendekam di kamar. Jo menjemputku dengan menggunakan motor tua jeleknya.
Saat sampai, pertunjukan musik sudah dimulai. Kami duduk di meja paling belakang. Lagu-lagu yang dimainkan terdengar bernuansa sendu dan agak galau.
Ketika lagu terakhir selesai dinyanyikan, Jo tersenyum sekilas. "Tunggu." Ujarnya. Aku mengangguk. Lalu dia berjalan menuju panggung.
Sampai di depan panggung, dia berbicara pada pembawa acara. Setelah itu duduk di kursi kayu di atas panggung, Jo mengambil gitar.
"Lagu ini untuk teman saya yang cantik, yang duduk di sebelah sana." Jo menunjukku sambil tersenyum. Dan aku merasa seluruh mata serempak menatapku. Aku langsung menggeleng cepat, menyuruhnya turun. Namun Jo malah mulai memetik gitarnya. Lagu yang dinyanyikan adalah Sempurna, Andra and The Backbone.
Penonton tampak terpukau, beberapa yang lain mengangkat kedua tangan dan melambai-lambaikannya sesuai irama musik yang mendayu-dayu. Begitu lagu itu selesai dinyanyikan, seolah belum cukup untuk membuatku malu, Jo berjalan turun dari atas panggung. Setelah sampai di depanku, dia tidak langsung duduk, namun berlutut di hadapanku. Dari dalam jaketnya, dia mengeluarkan setangkai bunga mawar putih dan menyodorkannya padaku. Aku menghela napas. Tolong jangan tanya itu lagi, Jo.
"Windy, mau nggak jadi pacarku?" Tanyanya dengan tatapan penuh harap.
Tanpa berkata apa pun, aku berdiri, lalu berjalan menuju pintu keluar. Beberapa pengunjung yang asyik menonton adegan tadi mulai tertawa. Namun, aku tetap melangkah keluar, meninggalkan Jo masih dengan posisi yang sama.
***
Seusai malam penembakan yang keseribu dua ratus tiga puluh empat kalinya itu, dan tetap kutolak, aku memutuskan untuk mulai mencari pekerjaan. Seharian ada di rumah membuat Jo begitu mudah menemukanku dan menembakku lagi. Selain itu, uang di rekeningku juga sudah semakin menipis.
Tawaran pekerjaan dari si laki-laki terkutuk itu tidak akan kuterima. Demi Tuhan, aku takut sekali bertemu dengannya. Jadi, aku mulai mencari lowongan lain di koran-koran, dan melamar di perusahaan yang memerlukan tenaga ilustrator atau tukang gambar tak berpengalaman seperti aku.
Siang itu, saat sedang asyik melukis di beranda belakang rumah, ada sebuah telepon dari majalah lokal. Si penelepon menyuruhku datang untuk wawancara kerja. Aku menyanggupi, karena memang sudah terlalu lama menganggur dan masih perlu uang. Maka, aku pun datang ke kantor majalah itu. Letaknya di sebuah kompleks perkantoran di daerah Jakarta Selatan.
Dengan mengendarai motor Scoopy baruku, aku meluncur menuju kantor itu. Setelah sampai dan masuk ke lobinya, seorang pegawai perempuan menyapaku ramah. Ketika mengatakan ingin wawancara kerja, dia menguruhku duduk di ruang tunggu.
Ruang tunggu yang dimaksud tidak terlihat seperti ruang tunggu, namun lebih mirip galeri seni. Aku bersedia menunggu di tempat ini sampai kiamat. Sofanya yang berwarna biru terasa empuk dan nyaman. Lantainya yang berwarna abu-abu tampak bebas debu, bening dan mengilat. Di sofa panjang berwarna biru tadi, sudah duduk lima orang laki-laki, mungkin sedang menunggu diwawancara juga. Aku ikut duduk di ujung sofa yang sama, di antara para lelaki, dan merasa sedikit grogi. Untuk mengalihkan perhatian, aku mengamati dua buah lukisan besar yang tertempel di dinding. Pertama lukisan seorang matador yang sedang menghindar dari serudukan banteng. Lukisan kedua, seorang anak sedang memandikan ayam. Keduanya begitu detail, bahkan hampir menyerupai sebuah foto. Ah, jika diterima, sepertinya aku akan suka bekerja di tempat ini. Jelas sekali pemiliknya punya selera seni yang tinggi.
Satu per satu para kandidat dipanggil, sekitar satu jam menunggu, giliranku pun tiba. Dengan badan agak gemetaran karena lupa makan, aku melangkah menuju ruangan yang ditunjuk. Begitu membuka pintu, aku langsung dibuat lupa cara bernapas. Seorang laki-laki duduk di belakang meja, memandangku sambil tersenyum ramah. Dan demi apapun, belum pernah aku melihat laki-laki setampan itu. Ketampanannya membuatku hanya bisa diam saja di depan pintu, mengerjap beberapa kali, dan tetap diam seperti itu.
"Halo? Apa kamu mau masuk?" Tanya mahkluk tampan di depanku.
"Mau." Tapi aku tetap diam di tempat.
Si tampan kembali tersenyum, membuat kakiku semakin lemas. "Kalau begitu, silahkan masuk."
Dan aku melangkah pelan, menutup pintu dan berdiri di depan meja.
"Silahkan duduk." Ujar si tampan. Aku menurut dan duduk di depannya.
Sejak masuk ke ruangannya, mataku seperti tidak mau menatap ke objek lain, selain si mahkluk tampan nan indah yang ada di depanku itu. Dan matanya hijau. Bukan, bukan mata duitan. Tapi benar-banar hijau. Tampak mencolok karena kulit putihnya yang bercahaya, bersih dan mulus. Rambutnya yang hitam pekat, tidak menutupi jejak bule di wajah itu. Bibirnya merah muda dan menggoda. Saat tersenyum, terlihatlah deretan gigi yang putih dan rapi. Dan aku ingin menciumnya saat itu juga. Menciumnya tepat di bibir seksi dan menggemaskan itu. Detik itu juga. Namun, tentu saja aku tidak berani melakukannya.
"Jadi, apa keahlianmu?" Tanyanya.
Setelah ber-uh-ah-uh-ah seperti balita baru belajar bicara, akhirnya aku menjawab. "Sa-Saya bisa gambar."
"Bawa contoh gambarnya?"
Aku mengangguk dan mengeluarkan dua buah buku sketsaku. Dan tablet tempatku membuat gambar secara digital. Si tampan mengambil buku sketsa berwarna hitam, lalu membolak-baliknya. Buku itu berisi gambar-gambar realisku, seperti gambar wajah para artis dan sebagainya. Lantas, keningnya berkerat-kerut, mungkin sedang berpikir keras atau mungkin dia menganggap gambarku jelek atau apa, yang anehnya, membuat cowok itu malah terlihat semakin tampan.