Di hari Senin pagi, aku masih bisa merasakan hangatnya bibir Jo di bibirku. Perasaan ini sangat aneh. Di tambah lagi saat aku hendak berangkat kerja di hari pertama, dengan bantuan tongkat, Naya berjalan tertatih mendekatiku. "Kak, aku suka sama Kak Jo, kalau Kakak memang nggak berminat. Apa Kak Jo boleh buat aku?" Tanyanya.
Aku bengong di atas motor.
Naya tersenyum sambil menatapku. "Boleh?" Tanyanya sekali lagi. "Boleh ya! Yes!" Pekik Naya pelan. Lalu memelukku dengan sebelah tangan. "Makasi, Kak." Dan sambil senyum-senyum, perlahan Naya masuk kembali ke rumah.
Sejenak, aku terdiam, masih shock dengan permintaan Naya. Ada sesuatu yang meletup di hatiku. Entah apa, tapi mungkin, umm... Entahlah.
***
Di hari pertama bekerja, aku langsung sibuk. Ada sepuluh gambar yang harus aku selesaikan agar besok—pagi-pagi sekali, bisa dimuat di majalah. Masalahnya, aku belum terbiasa menggunakan komputer kantor. Dan belum sempat belajar pula. Sehingga, aku memilih menggambar menggunakan tabletku.
Kubikel tempatku bekerja berada di sebuah ruangan luas di lantai tiga. Tempatnya nyaman—apa lagi tempat dudukku, empuk sekali. Dengan pendingin ruangan yang sejuk, dan aroma buah-buahan yang disemprotkan secara otomatis setiap lima menit. Ruangan itu dominan berwarna putih, kecuali satu sisi dekat toilet yang dicat biru cerah. Ketika lelah menatap komputer atau tablet, mataku langsung segar, jika menatap tembok biru itu.
Dan sebuah cermin besar ditempel di sana, dekat pintu toilet, tempat para karyawan mematut diri. Kubikelku bersisian dengan kubikel rekan-rekanku yang lain, masing-masing dilengkapi sebuah komputer layar datar. Enam ruang kerja itu dipisah sekat-sekat papan setinggi pinggang orang dewasa, masing-masing berukuran dua kali dua meter. Saat aku duduk, hanya puncak-puncak kepala teman-temanku yang terlihat. Dan tentunya terdengar juga kesibukan tanpa wujud. Bunyi keyboard ditekan-tekan, telepon berdering, dan printer yang seolah bekerja tanpa henti.
Sambil menggores-goreskan layar dengan pulpen digital, aku sempat memikirkan Jo, namun semuanya teralih oleh sosok bosku. Cowok bule itu membuatku terpesona. Ketika lewat di ruangannya untuk pergi ke toilet, aku sempat memandangi bosku itu. Dia sedang menatap laptop dengan serius. Wajahnya unik, membuatnya seperti magnet yang selalu menarik bola mataku untuk bergulir ke arahnya. Aku paling suka matanya. Terlihat begitu indah, dan pas untuk melengkapi kegantengan luar biasa bosku itu. Aku pun mulai mengira-ngira umurnya, yang jelas dia lebih tua dariku, tapi sulit untuk menebaknya karena wajah bulenya yang selalu tampak segar. Kata teman-teman kantorku, umur bosku itu tiga puluhan lebih. Namun, bagiku, dia masih berumur dua puluh limaan, dan dia tetap terlihat manis.
Dan, saat melihatku lewat, beliau tersenyum manis padaku. Menunjukkan deretan gigi putih dan rapi itu. Oh, ya ampun, semakin hari dia semakin ganteng saja.
Sambil terus membayangkan si tampan yang menggemaskan itu, aku terus bekerja, baru menjelang sore, kesepuluh gambar itu akhirnya selesai. Sesudah menyerahkannya ke bagian layout, aku kembali ke ruangan, dan menemukan bosku sudah duduk di kursi kerjaku. Beliau mengamati tabletku.
"Kamu bikin semua gambar tadi, dengan satu tablet ini saja? Wow." Ujarnya antusias. Mendengar itu, refleks aku menggaruk kepala. "Tapi, akan lebih bagus kalau kamu bisa memaksimalkan fasilitas kantor. Saya membeli komputer dan Wacom Bamboo ini bukan untuk pajangan lho."
Aku menunduk, dadaku berdebar setiap kali dekat dengan si tampan ini. "Ma-Maaf, Agung."
"Jangan minta maaf. Seharusnya malah saya berterimakasih karena kamu sudah bekerja dengan baik." Ujarnya. "Mau saya traktir makan?"
"Ha?"
"Saya tunggu di lobi. Kita makan malam berdua."
Lantas, bosku itu langsung berdiri, berjalan melewatiku menuju ruangannya. Dan aku masih diam di tempat. Apa barusan bosku mengajakku berkencan? Bantinku. Namun, buru-buru aku menggeleng. Tidak mungkin. Mana mungkin beliau suka padaku, dan mengajakku berkencan di hari pertama bekerja, itu terlalu indah untuk jadi kenyataan.
***
Sebenarnya, yang kubayangkan adalah makan nasi goreng di pinggir jalan di depan kantor, mengobrol sebentar, lalu pulang. Namun, yang terjadi adalah bosku mengajakku naik mobilnya dan membawaku ke sebuah restoran mewah. Dengan baju kaus dan celana panjang jeans dan sepatu Converse kuning norak yang kukenakan di tengah orang-orang yang berpakaian resmi—gaun dan semacamnya, aku terlihat seperti batu akik kurang gosok yang diletakkan di tengah kumpulan berlian.
Namun, bosku tetap memperlakukanku dengan baik. Tadi, beliau membukakan pintu restoran untukku, menggeser dan merapikan kursi ketika aku ingin duduk di depan meja makan, dan menatapku seolah aku putri raja. Oke, yang terakhir mungkin cuma keinginan terdalamku yang paling tidak tahu malu.
Seusai memesan makanan—aku memesan spaghetti, dan bosku steak sapi—beliau memandangku sambil tersenyum. "Kamu mau bikin komik, Win?" Tanyanya tiba-tiba.
"Eh?"
Bosku mengeluarkan beberapa lembar kertas yang dijebret klip. "Ini ada lomba bikin komik." Ujarnya. "Coba dibaca-baca dulu syaratnya, siapa tahu kamu berminat."
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangguk. "Boleh."
"Bagus." Bosku tersenyum, membuatnya bertambah manis. "Tapi jangan sampai mengganggu tugas-tugas kantor ya."
"Siap."
Agung tertawa, lalu dia menatapku sebentar sebelum bertanya. "Jadi, kamu berapa bersaudara?"
"Eh? Dua. Saya anak pertama." Sahutku spontan.
"Orang tuamu kerja di mana?"