Senyum Windy

Ramayoga
Chapter #10

Sembilan

Belakangan ini, Jo jarang main ke rumah. Katanya, dia ingin fokus untuk persiapan ujian skripsi. Sebagai teman yang baik, aku ingin membantunya. Tapi waktuku sudah habis, karena sibuk di kantor dan membuat proyek komik.

Enam bulan bekerja di perusahaan milik Agung Aditya, aku mulai terbiasa menggunakan komputer dan alat-alat yang disediakan oleh kantor. Dan saat sedang tidak punya ide, biasanya aku akan mengambil salah satu buku di rak kantor yang juga sudah disediakan, dan membacanya. Di dekat pintu masuk, ada dua rak buku yang menempel di dinding setinggi langit-langit. Rak itu dipenuhi buku tentang berbagai hal, terutama yang berhubungan dengan seni. Biasanya, setelah selesai membaca buku-buku itu, secara ajaib, ide-ide pun bermunculan.

Fasilitas itu sangat membantu pekerjaanku dan karyawan-karyawan lainnya. Di ruanganku, ada empat karyawan, termasuk aku. Masing-masing punya tugasnya sendiri. Membuat artikel, mengurus cerpen, dan khusus untukku, aku bertugas membuat gambar, dan ilustrasi, dan kadang-kadang komik pendek.

Dibandingkan dengan meja kerja rekan-rekanku yang lain, mejaku yang paling bersih. Mungkin karena aku pegawai baru. Di mejaku cuma ada komputer, Wacom Bamboo, dan tablet. Sudah, itu saja. Sedangkan meja rekan-rekan yang lain penuh dengan tempelan kertas-kertas memo berwarna-warni yang menempel di sana-sini, ditambah tumpukan buku yang menggunung, dan berkas-berkas yang berserakan di atas meja.

Dan entah karena kebersihan meja kerjaku, atau gambar-gambar yang kubuat atau apa, sikap bosku semakin hari semakin baik terhadapku. Hampir setiap Jumat malam, setelah pulang kantor, Agung mengajakku makan di luar. Tentunya, aku menerima ajakan itu. Bagaimanapun, aku tidak akan menolak makanan enak, apa lagi yang gratis.

"Kayaknya bos kita suka sama elu, Win." Ujar Dewi padaku. Dia rekan kerja yang duduk di samping kubikelku. Aku tidak memberi jawaban, hanya mengangkat bahu. Dan dia menambahkan. "Kalo gua jadi lu, gua bakal langsung ajak dia kawin." Kali ini, aku geleng-geleng kepala.

Sore itu, setelah menyelesaikan sembilan karikatur dan sedang siap-siap pulang, Agung menghampiriku. Aku sempat menduga bahwa dia akan mengajakku makan. Namun, ternyata bukan.

Agung menatapku dengan wajah lelah. "Win, bisa tolong bikinkan cover untuk bulan ini nggak?"

"Cover?"

"Iya, si semprul Anton itu lupa bikin cover, padahal cuma itu satu-satunya tugasnya. Katanya, dia lagi ada masalah keluarga atau apalah." Ujar Agung. "Kamu bisa bantu kan?"

"Bisa, mau cover yang seperti apa, Gung?"

"Sama seperti tema karikaturmu, tema covernya juga Masa-Masa SMA." Ujar Agung. "Bikin yang meriah ya."

"Oke."

Dengan sisa waktu yang cuma satu jam, aku berpikir keras. Dan yang melintas di kepalaku—kemudian langsung kugambar adalah sekelompok anak-anak SMA yang sedang mencorat-coret baju sehabis kelulusan. Di samping mereka ada bapak kepala sekolah yang sedang melipat tangan di depan dada dengan ekspresi mau buang air besar. Dan di belakangnya, seorang murid cowok menyeprot cat di celana kepala sekolah, tepat di bokong.

Begitu garis dasarnya sudah selesai, aku mewarnai gambar itu dengan sangat meriah. Penuh warna, sesuai permintaan bosku yang ganteng.

Lima menit sebelum kantor tutup, gambarku jadi. aku pun mencari Agung di ruangannya, lantas menunjukkan hasil karyaku, dan dia langsung ngakak. Di depannya, aku cuma diam dengan wajah datar, menatap Agung yang masih ngakak sambil memegangi perut.

"Gila." Ujarnya.

"Gila?"

"Iya, kamu gila, Win." Katanya lagi. "Tapi keren, saya suka."

"Gila tapi keren? Terus? Cover saya dipakai?"

"Tentu saja, dan untuk seterusnya, kamu yang bikin cover buat majalah kita." Agung tersenyum padaku. "Sekarang, mari kita makan."

***

Berbeda dengan hari biasanya, Agung mengajakku ke sebuah restoran yang lebih kecil, namun terasa lebih privat. Bahkan, aku mengamati, tidak ada pengunjung lain di sana. Hanya aku dan Agung. Ini agak mencurigakan.

Di sudut-sudut ruangan, dan di tengah meja kami, lilin-lilin dinyalakan. Bayangan benda-benda yang tertimpa cahaya lilin, menari-nari di tembok ruangan yang redup itu. Sebagai latar, suara gesekan biola yang merdu terdengar dari speaker, memenuhi ruangan, membuatku ingin memeluk laki-laki mana pun yang ada di depanku. Terutama jika laki-laki itu berwajah setengah bule dengan ketampanan luar biasa dan sedang tersenyum manis menatapku.

"Mau pesan apa?" Tanya Agung sambil melirikku, lalu mengamati menu di tangannya. Aku mengambil menu di hadapanku. Ikut mengamati deretan menu itu.

Pada akhirnya, makanan yang kami pesan adalah risotto dan spaghetti. Aku risotto dan Agung spaghetti. Dalam keheningan, kami menyantap makanan itu. Sesekali, aku mencuri-curi pandang ke arah magnet ganteng di hadapanku, dia hanya diam saja sambil menghabiskan makanannya.

Namun, ketika pandangan kami bertemu, dia berkata pelan. "Windy, saya suka sama kamu."

Aku mengerjap dua kali. "Apaan?"

Agung tersenyum, mungkin dia geli melihat ekspresi kagetku. "Sejak hari pertama kamu datang ke kantorku, entah kenapa, saya tertarik sekali sama kamu."

"Umm, eh, uh."

Saat wajahku mulai menghangat, salah tingkah dan bingung ingin berkata apa, Agung sudah memotong duluan. "Windy, kamu mau nggak menjadikan saya sebagai laki-laki paling bahagia di alam semesta?"

"Ha?"

"Maksud saya, kamu mau nggak jadi calon istri saya?"

"..."

Lihat selengkapnya