Senyum Windy

Ramayoga
Chapter #11

Sepuluh

Esok harinya, di kantor, ada kabar baik yang datang. Dua hari lagi, bosku mengajak semua pegawainya (sekitar 10 orang, mungkin jadi 20 orang jika ditambah keluarga) untuk liburan ke Bali, dan tentunya termasuk aku.

Menurut para pegawai yang lebih senior, kalau ada keuntungan lebih, bosku memang sering mengajak pegawainya jalan-jalan. Tentu saja, aku senang bisa liburan bersama pacarku yang luar biasa ganteng itu. Masalahnya, rekan-rekanku yang lain belum tahu bahwa aku sudah jadian dengan Agung.

Apa lagi, di kantor, Agung terlihat biasa saja. Sikapnya padaku tidak ada bedanya. Seolah aku cuma pegawai biasa. Walaupun memang benar aku cuma pegawai biasa. Tapi sebagai—seperti yang Agung bilang—calon istrinya, tentu aku ingin mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa. Namun, aku tidak berani berharap apa pun. Lebih baik menunggu dan menerima saja apa yang akan terjadi.

***

Dua hari kemudian, sekitar pukul tujuh pagi, setelah berkumpul di Bandara Soekarno Hatta (aku menyuruh Jo mengantarku), dan melalui pemeriksaan dan sebagainya, kami sekantor akhirnya terbang menuju Bandara Ngurah Rai. Dan untuk pertama kalinya sejak malam ketika Bapakku ditangkap polisi, aku liburan lagi ke Bali.

Kami pun mendarat dengan lancar di Bali. Seusai melewati pemeriksaan x-ray, kami berjalan menuju parkiran. Sebuah bus sudah menunggu, dan seorang pemandu wisata bernama Wayan menyambut kami, memberitahu bahwa kami akan melanjutkan perjalanan menuju Pantai Dreamland.

Di dalam bus, aku duduk bersama Agung di deretan bangku depan. Dia menggenggam tanganku, aku diamkan saja karena rasanya nyaman. Aku menoleh ke luar jendela, bus melaju melewati bukit-bukit kapur, turun naik dan berkelok. Dan kami memasuki daerah bernama Pecatu.

Tidak lama, bus berhenti di semacam tempat parkir. Kami pun turun, berjalan melewati jalanan berkapur. Dan tampaklah sebuah pantai berpasir putih, dengan tebing-teping kapur sebagai latar. Ombaknya berdebur tanpa henti, dan ada karang-karang besar di pinggir pantai, dekat tebing kapur.

Awalnya, aku berjalan sendiri menyusuri pantai, mencari tempat yang tidak terlalu ramai. Sedangkan teman-teman yang lain mulai menyebar, ada yang bermain pasir, ada yang duduk-duduk, dan ada yang naik ke kafe dekat pantai. Aku sendiri memilih menyepi, berjalan terus ke arah tebing kapur, dan menemukan sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Saat itulah, Agung tiba-tiba sudah ada di sampingku.

"Aku punya tempat yang bagus di sekitar sini." Ujar Agung.

"Di mana?"

Agung menunjuk ke sebuah batu karang besar. "Jalan terus, setelah rumah kayu ini." Ujarnya. "Ayo." Agung menggenggam tanganku. Aku pun mengikutinya.

Dan kami berjalan melewati rumah kayu, lalu menyusuri celah-celah sempit di sebuah batu karang besar. Semakin ke dalam semakin sepi. Ketika cahaya sudah mulai meremang, Agung berhenti. Kami saling berhadapan. Dia menatapku, dan aku menatapnya. Perlahan, Agung menunduk, dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dan bibirnya mendarat di atas bibirku. Ini ciuman pertamaku, dengan Agung. Lembut dan basah. Ditambah aroma parfumnya yang segar, dan suara ombak yang samar-samar masih terdengar, membuatku semakin terhanyut.

Selama hampir setengah jam, kami berciuman di celah batu karang itu. Merasa seperti dua manusia gua yang sedang menikmati waktu bersama. Namun, ketika tangan Agung mulai meremas dadaku, ada suara-suara pengunjung lain yang terdengar dari balik gua. Kami pun buru-buru melepaskan diri. Lantas, berjalan keluar lewat celah sempit itu, dan kembali ke pantai utama. Sampai kembali naik ke dalam bus, dadaku masih tetap berdebar-debar.

***

Dari Pantai Dreamland, kami makan siang dulu di sebuah restoran di Jimbaran, dan melanjutkan perjalanan ke Pura Uluwatu. Sorenya, kami langsung menuju hotel di dekat Pantai Kuta. Aku sekamar dengan Dewi.

Begitu masuk kamar, Dewi langsung menuju kamar mandi. Tidak lama dia keluar, dan buru-buru mengenakan pakaian. "Windy, gua punya pacar, orang Bali." Ujarnya. Aku menaikkan sebelah alis. "Dan selama tiga hari ini, gua nggak akan tidur di hotel ini, Win." Lanjutnya sambil merapikan kopernya di lantai. "Lu berani tidur sendiri, kan?"

"Lu nginep di mana?" Tanyaku balik.

"Di kos pacar gua."

Aku geleng-gelang kepala. "Nakal."

"Memang." Sahutnya. Lalu tersenyum binal. "Jadi, tiga hari ini, lu bebas di kamar ini. Mungkin lu mau mengundang bos kita yang ganteng itu untuk menginap. Silahkan."

"Ha?"

"Ngomong-ngomong, Win. Kalian sudah jadian ya? Traktir!" Ujar Dewi lagi. "Dasar lu, baru nongol udah bisa merebut hati bos kita. Sekarang lu harus jujur! Kalian udah jadian kan?"

"Emang keliatan banget ya?"

"Demi kondom rasa stroberi, gua berani sumpah, dia belum pernah memperlakukan pegawainya sebaik seperti dia memperlakukan lu." Ujarnya pelan. "Dan, lu beruntung banget, bos kita itu adalah cowok yang sempurna buat dijadikan pasangan hidup. Ganteng, baik, tajir. Kalau gua yang dia suka, gua rela mutusin pacar gua yang sekarang ini." Tandasnya.

"Oke." Ujarku. "Biar gua perjelas, selama tiga hari ini lu bakal nginep sama pacar lu. Dan lu rela mutusin pacar lu itu demi bos kita yang ganteng, baik, dan tajir. Gitu?"

"Kurang lebih begitu." Lalu dia tertawa. Dan beranjak keluar kamar. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

***

Lihat selengkapnya