Senyum Windy

Ramayoga
Chapter #12

Sebelas

Hari kedua di Bali, aku terbangun dalam keadaan menggigil. Aku lupa memakai selimut, dan lupa mematikan pendingin ruangan. Kombinasi yang sempurna, pikirku. Andai saja semalam ada Agung di sampingku, mungkin aku akan tetap hangat. Duh, buru-buru aku menepuk kepalaku.

Supaya tidak kedinginan, aku mandi dengan air panas. Membuatku memekik pelan, setiap kali bersentuhan dengan air. Selesai mandi dan berpakaian, aku turun ke lobi hotel, dan menemukan Dewi sudah duduk di sana. Rambutnya basah, dan dia terlihat segar. Sambil mesem-mesem, Dewi menyapaku. "Pagi, Win. Bagaimana semalam? Bos kita mampir ke kamar nggak?"

"Nggak."

Dia berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Percuma dong gua minggat ke kos pacar?"

"Kira-kira begitu."

Agung keluar dari lift, dan langsung mengumpulkan kami di lobi. Setelah memberi briefing sebentar, dia menyuruh kami untuk masuk ke dalam bus. Dan seperti biasa, Agung duduk di sebelahku.

Tujuan pertama kami adalah berkunjung ke Kebun Raya Bedugul di daerah Tabanan.

Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan dari hotel. Tempatnya yang tinggi (kata Pak Wayan, sekitar 1.240 meter dari atas permukaan laut) membuat kebun luas itu berhawa dingin dan sedikit berkabut. Sesampainya di Bedugul, kami disambut banyak pohon tinggi, dan anggrek-anggrek menempel di batang-batangnya. Di salah satu bagian, terdapat hamparan rumput luas, sangat cocok untuk tempat piknik bersama keluarga.

Sambil duduk-duduk di bangku yang berada di bawah sebuah pohon besar, aku dan Agung mengobrol, sembari mengamati teman-teman lain sedang asyik mengikuti lomba makan kerupuk sambil berjoged.

Dan tiba-tiba Agung bertanya. "Kamu kok nggak pernah senyum, Win?"

Aku meliriknya sekilas. "Pernah kok, cuma belakangan, jarang aja yang bisa bikin aku senyum." Sahutku pelan.

"Boleh aku coba?" Tanyanya.

"Silahkan."

Agung garuk-garuk kepala. Lalu mulai bercerita. "Pada suatu hari, ada kisah yang sangat menyebalkan."

Hening.

"The end."

Aku menanti cerita itu dilanjutkan. Tapi, sepertinya sudah selesai. Jadi, aku cuma manggut-manggut. "Lucu."

"Lucu?"

"Lucu."

Kemudian, yang ngakak malah Agung. "Astaga. Astaga. Astaga." Ujarnya sambil memegang perut.

"Kenapa?"

"Sepertinya syaraf ketawamu sudah rusak, Win."

"Mungkin." Sahutku. "Ngomong-ngomong, aku juga punya cerita lucu, Gung."

"Cerita apa?"

"Waktu itu aku lagi belanja di mall, masuk ke toilet, terus buang air besar. Ketika keluar bilik, banyak cowok yang mandangin aku. Terus aku keluar aja. Ternyata, aku salah masuk ke toilet cowok."

Lalu Agung ngakak lagi.

***

Setelah makan siang, sebelum kami kembali ke hotel, kami mampir ke Pura Tanah Lot.

Di parkiran, udara yang hangat menyentuh kulitku. Di sekeliling kami, banyak bule yang berseliweran, orang-orang dengan pakaian adat Bali yang mungkin ingin sembahyang, dan para pedagang yang ada di sisi-sisi jalan. Toko-toko mereka penuh warna, dan terdiri dari banyak barang. Mulai dari baju pantai, layang-layang, dan gantungan kunci berbentuk penis.

Di ujung jalan itu, terdapat gapura besar berwarna putih. Saat mendekat, suara ombak mulai terdengar. Aku dan Agung berjalan terus di antara para pengunjung lain, sampai tampaklah sebuah batu karang besar di tengah laut. Ada tangga dari bebatuan di karang itu, dan di atasnya berdiri sebuah pura dengan atap-atap berwarna hitam yang diteduhi pepohonan hijau. Saat itu, air laut sedang surut, sehingga beberapa pengunjung bisa naik ke atas tanpa perlu takut terseret ombak.

Aku berjalan menyusuri bebatuan, Agung berada di sebelahku. Saat berjalan di batu-batu yang berlumut, Agung agak terpeleset, lalu dia jatuh terduduk.

Aku memandanginya. "Jatuh?" Tanyaku.

"Nggak, aku sengaja melakukannya, supaya kamu ketawa. Atau paling tidak senyum." Ujarnya.

Lihat selengkapnya