Senyum Windy

Ramayoga
Chapter #13

Dua Belas

Hari pertama bekerja setelah pulang dari Bali, teman-teman kantor langsung menyambutku dengan tepuk tangan dan ber-cie-cie-ria yang sebenarnya agak menyebalkan. Namun, aku cuek saja. Dan berusaha bekerja seperti biasa.

Aku belum sempat melihat Agung sejak berpisah di bandara. Namun, sorenya, cowok itu datang ke mejaku, membawa dua lembar amplop. Dia mesem-mesem. Aku jadi salah tingkah.

"Ini ada dua undangan pameran lukisan, di galeri dekat sini." Ujarnya. "Dari salah satu pelukis senior."

"Kapan?"

"Malam ini. Kamu mau ikut?"

"Mau!"

Maka, malam itu, kami meluncur ke galeri dekat kantor. Begitu sampai, aku dibuat bengong. Galeri itu berbentuk aula besar dengan langit-langit yang tinggi. Dari pintu masuk, ada papan-papan kayu yang berjejer rapi, membentuk sebuah lorong. Di sisi-sisi lorong itu, berjejer lukisan-lukisan yang dipasang di papan-papan kayu, dan sebuah lampu meneranginya dari atas masing-masing lukisan.

Beberapa pengunjung lain, tampak berdiri di depan lukisan-lukisan itu. Ada yang mengaguminya sendirian, dan ada yang sambil berdiskusi dengan yang lain. Aku berjalan terus menyusuri lorong, mengamati lukisan demi lukisan. Campuran warna yang lembut, abstrak namun di bagian wajah-wajah manusia yang dilukis, dibuat sangat mirip, hampir menyerupai hasil jebretan kamera. Dan hatiku langsung dipenuhi oleh semacam kegembiraan, seperti orang hilang yang menemukan jalan pulang.

Selama hampir satu jam, aku berkeliling ruangan itu, dan menemukan seorang lelaki tua duduk di belakang sebuah meja kecil. Agung yang mengikutiku dari tadi, langsung menarik tanganku mendekat ke laki-laki itu.

"Selamat malam, Pak Yusuf." Sapa Agung.

Laki-laki itu menoleh. Rambutnya yang putih tampak berkilau diterangi lampu, kerutan-kerutan di wajahnya bercampur dengan beberapa flek hitam, dan matanya yang mulai meredup terlihat ramah. "Oh, Agung. Sudah keliling?" Tanyanya.

"Sudah, Pak." Sahut Agung. "Oh ya, Pak, kenalkan. Ini Windy, dia berbakat melukis. Sengaja saya bawa ke sini, supaya bisa mencuri ilmu dari seniman terbaik."

Aku meringis mendengar ucapan Agung. Namun, aku tetap menjabat tangan si laki-laki tua itu. "Saya Windy, Pak." Kataku. Pak Yusuf tersenyum. "Mohon bimbingannya."

"Kalau kamu sudah bisa bekerja untuk Agung, berarti goresan tanganmu pasti spesial." Ujar Pak Yusuf. "Tinggal dihalusin saja."

"Ah, Bapak bisa aja."

Pak Yusuf tersenyum. Beliau membuka laci meja kecil di depannya, mengeluarkan semacam amplop berwarna biru muda yang dibungkus plastik bening, dan menyerahkannya padaku. "Mohon kehadirannya." Ujarnya pelan.

"Apa ini, Pak?"

"Undangan pernikahan anak bungsu saya." Sahutnya. "Acaranya, besok. Kamu boleh datang dengan pasangan gantengmu ini." Pak Yusuf melirik Agung, Agung melirikku, dan aku tidak melirik siapa-siapa.

"Baik, Pak. Saya akan datang." Sahutku akhirnya.

Lalu, beliau mengantar aku dan Agung berkeliling lagi. Kali ini beliau menjelaskan sendiri setiap detail lukisan karyanya.

***

Sabtu sore, sesuai janji, aku dan Agung datang ke undangan pernikahan putra Pak Yusuf. Acaranya diadakan di sebuah hotel bintang lima di pusat kota. Aku tidak punya gaun lain selain yang kugunakan di malam terkutuk itu, dan tidak sempat membeli. Jadi, aku menggunakannya lagi, sambil berharap semoga gaun itu tidak membuatku terlihat murahan.

Tadi, saat keluar dari toilet kantor untuk berganti pakaian, Agung menatapku lama, sebelum dia berkomentar singkat. "Kamu cantik." Dan aku merasa seperti terbang ke langit-langit.

Dalam keadaan hati yang masih meleleh, Agung membukakan pintu mobil untukku. Dengan sedikit membungkuk, dia mempersilahkanku masuk. Ah, selain ganteng, Agung juga selalu sopan dan memperlakukanku dengan baik. Hatiku jadi semakin meleleh.

Di jalan, Agung hanya diam saja. Jadi aku ikut diam sambil menarik-narik ujung gaunku, yang tentu saja tidak berpengaruh apa pun. Gaun itu tetap tidak bertambah panjang.

Sampai di hotel, kami masuk ke dalam ruangan tempat diadakannya acara. Aku terperangah, ruangan itu ditata sangat mewah dengan kain-kain prada yang menghiasi seluruh sudut. Dan undangan yang datang lumayan banyak. Ruangan besar itu bahkan hampir penuh.

Saat melangkah ke ruangan yang lebih dalam, aku langsung disambut tirai-tirai tipis berwarna ungu. Sebuah lampu hias dengan banyak berlian tampak bergelantungan. Warnanya juga serupa dengan tirai, ungu muda. Sebuah karpet merah, memanjang dari pintu masuk, menuju ke panggung pelaminan. Di kanan-kiri karpet itu, disusun meja bundar besar, dan kursi-kursi mengelilingi meja itu. Beberapa tamu sudah duduk melingkarinya, namun ada juga yang berdiri sambil mengobrol, dan menikmati cemilan di meja panjang yang berjejer dekat dinding.

Cahaya lampu-lampu yang dipasang di langit-langit, memantul di lantai coklat dan bersih, membuat ruangan tampak cemerlang tanpa debu seperti habis dicuci deterjen anti noda. Dan tentu saja, lampu-lampu yang paling terang terdapat di atas panggung pelaminan. Di bawahnya, sepasang pengantin sedang duduk bersisian, tersenyum kepada para tamu, dan terlihat bahagia. Tentu saja memang seharusnya begitu, bagaimanapun mereka akan memulai hidup baru bersama.

Di tengah keramaian itu, tiga cewek tiba-tiba datang menghampiri Agung, mereka tinggi-tinggi sekali, putih dan cantik. Tinggiku malah cuma sebatas telinga mereka. Sementara Agung sibuk meladeni mereka mengobrol, pelan-pelan aku mulai tersisih dan menjauh.

Aku berjalan menuju meja makanan di dekat panggung, saat itu seseorang berjalan menuju ke atas panggung, mungkin pembawa acara atau semacamnya. Dan tepat ketika dia berkata, "mohon perhatiannya", aku melihat wajah terkutuk itu lagi. Wajah si laki-laki terkutuk di malam terkutuk. Dia ada di antara para tamu.

Astaga!

Buru-buru aku mencoba untuk menghindar, jangan sampai si laki-laki terkutuk itu melihatku. Sialnya, ketika ingin bersembunyi, kakiku tersandung, dan aku jatuh tepat ke arah sebuah meja. Tanganku menggapai-gapai, dan malah menumpahkan satu mangkok besar sirup stroberi lengkap dengan es batunya. Semua itu jatuh di atas kepalaku beserta mangkok-mangkoknya.

Lalu hening.

Dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan, aku menengadah. Semua mata tertuju padaku. Termasuk mata si laki-laki terkutuk itu.

"Sepertinya ada yang belum mandi, dan malah mandi di sini." Kata si pembawa acara. Orang-orang mulai tertawa. Buru-buru, aku ingin bangun dan menghilang dari ruangan itu. Tapi kakiku sakit sekali, aku tidak bisa bangun.

Tiba-tiba, sebuah tangan membopongku. Agung. Dia membawaku keluar ruangan, menembus tatapan orang-orang.

Aku hanya menunduk. "Maaf, aku sudah bikin malu." Kataku.

"Nggak, aku yang minta maaf. Harusnya aku menjagamu." Sahutnya. Lalu membawaku masuk ke mobil. "Kita ke apartemenku dulu ya."

Aku hanya mengangguk. Ke mana saja, asal tidak bertemu lagi dengan si laki-laki terkutuk di malam terkutuk itu. Dan mobil pun melaju.

***

Sampai di apartemen Agung, aku segera mandi sebelum dikerubungi semut, dan terpaksa meminjam baju milik Agung. Baju itu super besar saat kupakai, sehingga ujungnya sampai menyentuh lututku.

Lihat selengkapnya