Saat pulang ke rumah, setelah menahan tangis ketika Agung berpamitan di depan rumah, aku langsung masuk ke kamar, dan menjatuhkan diri di kasur sambil menangis.
Tadi, di jalan, Agung baru bercerita bahwa orang tua kandungnya sudah bercerai. Dan masing-masing sudah memiliki pasangan baru. Ibu kandungnya, Gerda, menikah lagi dengan orang Bali, yaitu Pak Putu. Dan bapak kandungnya, yang secara mengejutkan ternyata adalah si laki-laki terkutuk yang pernah meniduriku, menikah dengan wanita setengah baya yang tadi mengaku sebagai Mamanya Agung.
Setelah tahu semua itu, mimpiku untuk membuka lembaran baru, punya pekerjaan, dan punya pasangan, mendadak hilang. Padahal baru beberapa jam yang lalu semua terasa begitu dekat dan nyata. Tidak mungkin aku melanjutkan hubunganku dengan Agung, dan tidak mungkin pula aku terus bekerja di kantornya. Demi Tuhan, padahal aku sangat mencintai bosku itu dan pekerjaanku yang sekarang.
Yang jelas, aku tidak mau lagi bertemu dengan laki-laki terkutuk itu. Entah bagaimana mengungkapkan perasaanku ketika berhadapan dengannya. Laki-laki terkutuk itu membuatku teringat dengan tayangan di Channel National Geography, saat seekor zebra akan dimangsa oleh seekor harimau. Saking takutnya, si zebra hanya diam saja, seolah dia sudah mati membeku sebelum satu pun gigi si harimau menyentuh kulitnya. Dan itulah yang terjadi padaku, ketika laki-laki di malam terkutuk itu muncul begitu saja di hadapanku.
Kembali ke kejadian sore tadi di apartemen.
Ketika Agung dan Mamanya Agung pergi ke dapur untuk membuat minuman, hanya tinggal aku dan si laki-laki terkutuk di ruang tamu. Lalu dia berkata. "Lucu ya. Saya mencari kamu ke mana-mana, malah kamu sendiri yang datang pada saya." Si laki-laki terkutuk menatapku lekat-lekat.
Aku merasakan dia berjalan menuju meja tamu, lalu jongkok dan memungut sesuatu. Begitu melihat apa yang dipungut, mataku langsung melotot. Celana dalamku!
"Om..."
"Punya kamu?" Dia tersenyum tipis. "Sebelum kami datang, kalian sedang apa?" Tanyanya. Aku hanya diam memandangnya. Laki-laki terkutuk itu mendekatkan celana dalamku ke hidungnya, menciumnya dalam-dalam.
"Om..."
Baru hendak merebut benda itu, Agung sudah masuk ke ruang tamu, ditemani oleh Mamanya Agung. Sekilas, aku melihat laki-laki terkutuk itu memasukkan sesuatu ke kantong celananya.
Lantas, sambil minum teh dan makan kue kering, kami mengobrol tentang segala sesuatu, terutama tentang hubunganku dengan Agung. Aku lebih banyak diam, hanya menjawab jika ditanya. Saat itu, selera makanku sudah hilang. Aku hanya ingin buru-buru pergi dari apartemen Agung, atau mungkin pergi dari dunia ini, supaya tidak perlu lagi bertemu dengan si laki-laki terkutuk itu.
Bagi Agung, mungkin pertemuanku dengan kedua orang tuanya berjalan baik dan lancar. Bagiku, semuanya bencana. Dalam setengah jam terakhir, tiba-tiba aku sudah terjebak dalam hubungan segitiga yang ganjil. Antara aku, Agung, dan bapaknya.
***
Esok harinya, pagi-pagi sekali, Agung sudah ada di depan rumahku, menungguku di teras depan, seperti biasa. Begitu melihatnya, tekadku yang sudah bulat untuk putus dari Agung, langsung luluh.
"Belum siap-siap?" Tanyanya.
Aku menggeleng sambil menggaruk kepalaku, wajah dan rambutku sama-sama kusut. "Aku... Aku nggak enak badan." Ujarku lirih.
"Mau aku bikin enak?" Tanya Agung sambil tersenyum. Senyum yang manis. Namun, aku malah melihat senyum si laki-laki terkutuk itu di sana.
Buru-buru aku menggeleng. "Seriusan."
Agung meletakkan telapak tangannya di keningku. "Memang agak hangat." Ujarnya. "Hari ini kamu jangan kerja deh."
"Iya."
"Ya udah, kamu tidur lagi aja." Agung berdiri. "Nanti siang, mungkin aku bakal mampir bawa makan siang."
"JANGAN!"
"Hmm?"
Aku menggeleng canggung. "Maksudku, jangan repot-repot. Kamu kan sibuk. Nanti aku minta Ibu saja yang belikan makanan."
"Oke." Ujar Agung. Lalu dia pamit.
Sekarang tinggal aku sendirian di teras depan. Bingung bagaimana harus bersikap. Agung adalah laki-laki yang sangat baik, dia sopan dan sikapnya membuatku nyaman. Namun, bapaknya bajingan. Laki-laki terkutuk itu bahkan masih menyimpan celana dalamku.
***
Seharian, aku hanya diam di rumah. Adikku masih tidur, dia sudah mulai membaik dan sudah bisa berjalan seperti biasanya. Seminggu terakhir, Naya sudah mulai masuk sekolah. Sedangkan Ibu sedang menjenguk Bapak di penjara. Hari ini adalah hari Ibu, beliau ingin merayakannya bersama Bapak.
Di koran yang tadi kubeli, aku berusaha mencari lowongan pekerjaan. Tapi belum ada yang cocok. Lalu aku berpikir, lupakan dulu sejenak masalah pekerjaan atau semacamnya. Sekarang hari ibu, aku harus menyiapkan perayaan kecil-kecilan, dan tentunya sebuah hadiah untuk Ibu. Aku ingin membelikan cincin untuknya. Dulu, cincin pernikahan Ibu dijual untuk membayar uang sekolahku. Sekarang, setelah punya cukup uang, aku ingin membelikannya cincin yang sama.
Maka, siang itu, aku menarik uang di ATM, dan berkeliling mall mencari toko perhiasan. Sampai menjelang malam, aku belum juga menemukan cincin yang kumau. Dan saat itulah, handphone-ku berbunyi. Telepon dari Mita.
"Halo, Mit?"
"Win, aku lagi pengin nraktir seseorang, nih." Ujarnya. "Kamu mau ditraktir?"
"Maulah."
"Ya udah, jam delapan, cari aku di hotel yang kemarin." Ujarnya. "Aku lagi ada tamu."
"Oke."